RMOL. Meski Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan sejumlah pasal Undang-Undang no. 17 tahun 2003 tentang organisasi kemasyarakatan (UU Ormas), ancaman terhadap kebebasan berserikat masih terjadi di sejumlah daerah.
Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) menemukan, 11 kebijakan terkait UU Ormas yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan tersebut malah terbit setelah MK memutuskan dalam judicial review (JR) UU Ormas, bahwa pendaftaran ormas tidak bersifat wajib melainkan sukarela.
Koordinator KKB, Fransisca Fitri mengatakan, sekalipun telah ada putusan MK, namun praktik di lapangan semakin memperlihatkan watak represif UU Ormas. Salah satunya, sepanjang April 2015 muncul kebijakan lokal seperti Qanun Kabupaten Aceh Utara tentang kemaslahatan dan ketertiban umat. Dalam Qanun ini tercantum, diwajibkan setiap ormas untuk mendaftarkan diri dan mengurus izin jika ingin melakukan kegiatan.
Contoh lain, adanya perintah penghentian kegiatan ormas oleh pejabat kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat, karena ormas tersebut tidak memperpanjang kepemilikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT). "Putusan MK 23 Desember 2014 seharusnya berpengaruh terhadap pelaksanaan UU Ormas, utamanya terhadap beberapa hal," ingatnya.
"Pertama, papar Fransisca, terkait pendaftaran ormas yang bersifat sukarela dan ormas yang tidak mendaftar harus tetap dilindungi eksistensinya. Kedua, tidak dikenal ormas berdasarkan ruang lingkup kewilayahannya," ujarnya.
Masih menurut Fransisca, terdapat tujuh pasal yang dibatalkan oleh MK dalam judicial review yang diajukan KKB. Yaitu pasal 8, pasal 16 ayat (3), pasal 17, pasal 18, pasal 23, pasal 24, dan pasal 25. Akibatnya, menyulitkan otoritas pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengenal identitas ormas berdasarkan wilayah kerja maupun lingkupnya.
"Pemerintah juga tidak dapat memaksa atau mewajibkan ormas yang tidak berbadan hukum untuk memiliki SKT. Faktanya, di lapangan berbeda dengan putusan MK tersebut.Tidak sedikit ormas yang masih merasakan diskriminasi terhadap pelayanan yang diterima ketika ormas tersebut tidak terdaftar," paparnya.
Fransisca menuturkan, KKB menemukan pelanggaran yang diterima pasca putusan MK tersebut. Terdapat 17 kasus terkait kewajiban untuk mendaftar menduduki peringkat pertama, disusul enam kasus pembatasan akses dan stigmatisasi ormas ilegal.
"Wilayah terjadinya kasus merata dari Marauke di Papua sampai Sumatera. Dari kasus pelarangan aktivitas sampai pelarangan berorganisasi," sebutnya.
Berdasarkan UU Ormas, Fransisca menambahkan, semua bentuk organisasi yang tumbuh dalam masyarakat disebut organisasi kemasyarakatan.
Mulai dari yang berbadan hukum hingga tidak berbadan hukum. UU Ormas pun mengatur organisasi yang bergerak nyaris di seluruh bidang, dari bidang keagamaan hingga seni.
"Secara praktik, lembaga pengelola pesantren, amil zakat, panti asuhan, rumah sakit, sekolah, organisasi kepemudaan, komunitas pencinta seni dan film, asosiasi atau perkumpulan keilmuan, profesi, hobi, organisasi sosial atau filantropi, hingga paguyuban keluarga diatur oleh UU Ormas," katanya. ***
Sumber: http://www.rmol.co/read/2015/11/23/225561/Awas,-UU-Ormas-Masih-Bahaya!-