Aturan yang membolehkan adanya integrasi penyelenggaraan usaha peternakan dengan bidang usaha lain yang terkait, menyebabkan matinya mata pencarian para peternak kecil. Hal ini disampaikan Supriyanto sebagai saksi yang dihadirkan Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI) selaku Pemohon dalam uji materiil Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU Peternakan dan Kesehatan Hewan) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (17/11).
Bertempat di Ruang Sidang Pleno MK, Supriyanto menjelaskan penyelenggaraan integrasi usaha peternakan dengan bidang usaha lainnya yakni budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan kehutanan justru membuat peternak kecil seperti dirinya dirugikan. Selain integrasi usaha tersebut hanya dapat dilakukan oleh pengusaha ternak bermodal besar, peternak kecil seperti dirinya justru menjadi kesulitan mencari kebutuhan ternak. Sebab, kebutuhan peternakan telah dikuasai oleh para pemodal besar dari hulu hingga ke hilir.
Semua kebutuhan dalam peternakan menurut Supriyanto memang sebagian besar diperoleh dari para pengusaha besar. Kebutuhan seperti pakan, bibit ternak, hingga obat-obatan ternak diperoleh dari para pengusaha besar. Meski para pengusaha kecil diuntungkan, tetapi pada kegiatan hilir yakni kegiatan penjualan hasil ternak, Supriyanto dan sesama rekan-rekan peternak kecil juga harus bersaing dengan para pengusaha ternak besar.
“Kalau undang-undang ini masih tetap bertahan, sampai kapan pun kami tetap akan gulung tikar. Karena apa? Persaingan di ujung nanti, di hilirnya itu kita akan jual ayam di pasar becek, sementara integrator para pengusaha-pengusaha besar ini juga sama jualnya di pasar becek, sementara perbedaan HPP, modal itu jauh lebih murah pihak mereka,” ungkap Supriyanto di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar tersebut.
Oleh karena itu, Supriyanto mewakili rekan-rekannya meminta Mahkamah untuk menyatakan aturan yang membolehkan adanya penyelenggaraan integrasi usaha peternakan dengan bidang usaha lainnya yang terkait dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi. Hal ini disampaikan Supriyanto dengan menyatakan seharusnya para integrator (para pengusaha besar yang melakukan integrasi usaha, red) tidak dibolehkan bermain di pasar yang sama dengan para pengusaha kecil.
Menanggapi keterangan saksi, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mempertanyakan adakah survei yang memperkuat dalil Pemohon yang menyatakan telah terjadi monopoli dalam pelaksanaan aturan integrasi seperti yang disampaikan saksi. Bila ada, Wahiduddin menganggap hasil penelitian maupun survei tersebut dapat menjadi alat bukti yang kuat untuk membenarkan dalil Pemohon.
Mengutip Pasal 36 ayat (5) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, Wahiduddin menyampaikan seharusnya Pemerintah menciptakan iklim usaha yang sehat. Salah satu cara untuk menciptakan hal tersebut yakni dengan memberikan informasi pasar serta melakukan survei dan kajian terhadap monopoli usaha peternakan secara horizontal maupun vertikal yang dapat membahayakan kepentingan nasional.
“Nah, apakah sudah ada kajian ini? Ini kan yang digambarkan sebetulnya integrasi menjadi monopoli sebetulnya seperti posita Pemohon. Nah, ini sudah ada tidak kajian ini? Kalau ada kajiannya, tolong disertakan,” ujar Wahiduddin.
Hal yang sama juga disampaikan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang meminta Pemohon melengkapi alat bukti berupa Peraturan Presiden dan peraturan lainnya, misalnya peraturan menteri untuk membuktikan dalil-dalil Pemohon. Menurut Palguna, bisa saja persoalan yang menimpa Pemohon dan para pengusaha ternak skala kecil terjadi bukan diakibatkan aturan integrasi usaha dalam UU Peternakan. Melainkan, bisa saja terjadi akibat peraturan dalam peraturan turunannya, seperti Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan bahwa adanya aturan tentang penyelenggaraan integrasi usaha peternakan dengan bidang usaha lainnya telah menimbulkan konsekuensi lahirnya peternak industri besar yang memungkinkan adanya penyatuan penguasaan, sekaligus yang dapat melakukan usaha dari hulu sampai hilir seperti mulai pembibitan (day old chick), budidaya, hingga pengadaan pakan. Oleh karena itu, Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan telah menyebabkan kartelisasi maupun monopoli usaha peternakan di Indonesia. (Yusti Nurul Agustin/IR)