Sebanyak 218 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (FH Untirta) Banten, berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (17/11) siang. Kedatangan mereka disambut oleh Peneliti MK, Nallom Kurniawan yang kemudian memberikan materi seputar Undang-Undang Dasar (UUD) di Indonesia.
“Dulu kalau kita membaca Undang-Undang Dasar, seperti membaca hal-hal yang indah tetapi hanya di atas naskah. Hak-hak warga negara memang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan. Tapi kalau ada satu Undang-Undang yang dianggap melanggar Undang-Undang Dasar, tidak ada saluran hukumnya,” papar Nallom kepada para mahasiswa.
Namun sekarang, lanjut Nallom, jika ada seorang warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan sebuah undang-undang (UU), dia bisa datang ke MK untuk mengatakan bahwa hak konstitusionalnya dilanggar oleh pemberlakuan satu norma Undang-Undang. “Coba bayangkan 560 anggota DPR bersama pemerintah beserta jajarannya yang sudah membentuk suatu UU, tiba-tiba norma, pasal dari UU itu bisa gugur akibat pengujian UU. Kan hebat jadi warga negara Indonesia setelah perubahan UUD 1945,” urai Nallom.
“Makanya memahami hak konstitusional menjadi penting. Itulah kenapa, ketika kalian lulus S1, bahkan belum lulus pun kalian bisa mengajukan pengujian UU. Setelah dapat ilmu dari dosennya, bisa langsung dipraktikkan, hadir sebagai pemohon di MK. Sudah beberapa kali forum kajian hukum mahasiswa menguji UU di MK,” imbuh Nallom.
Lebih lanjut Nallom menjelaskan, perubahan UUD 1945 menyebabkan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara di Indonesia setara. “Karena itu kalau ada salah penafsiran atau silang sengketa kewenangan antara lembaga negara, maka MK lah yang berwenang untuk memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara,” terang Nallom.
Hal lain, kata Nallom, MK punya kewenangan memutus pembubaran partai politik. Dalam arti, MK melakukan koreksi terhadap praktik partai politik yang tidak tepat di masa lalu, di mana ada partai politik yang dibubarkan berdasarkan perintah Presiden.
“Kekuasaan Presiden saat itu sangat besar. Apakah praktik seperti itu akan terus dilakukan? Tentu tidak. Kalau kita konsisten dengan prinsip negara hukum, seharusnya pembubaran partai politik diselesaikan melalui jalur hukum. Tidak boleh Presiden membubarkan partai politik semena-mena,” tegas Nallom.
Pada kesempatan itu, Nallom juga menerangkan kewenangan MK memutus perselisihan hasil pemilu dan kewajiban MK terkait pemakzulan Presiden. Nallom berharap, pemakzulan terhadap Presiden tidak terjadi di Indonesia. Bahkan, kata Nallom, kewajiban terkait pemakzulan dihadirkan di MK Indonesia maupun MK negara-negara lain, tujuannya agar Presiden tidak mudah dijatuhkan.
“Kalau Presiden mudah dijatuhkan, dampaknya sangat luas. Stabilitas politik itu dampaknya kemana-mana, ekonomi dan sebagainya. Yang rugi dan paling merasakan adalah masyarakat kecil,” terang Nallom yang kemudian membuka sesi diskusi terkait materi yang disampaikan. (Nano Tresna Arfana/IR)