Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak permohonan uji materiil Undang Pengadilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) yang dimohonkan mantan Jaksa Fungsional di Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, Jack Lourens Vellentino. Menurut Mahkamah, ketentuan tenggang waktu pengajuan gugatan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU PTUN telah memberikan kepastian hukum dan tidak menimbulkan diskriminasi.
“Amar Putusan, mengadili, dalam Provisi menyatakan menolak permohonan provisi Pemohon. Dalam pokok permohonan, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” tegas Ketua MK Arief Hidayat pada Senin (16/11), di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebelumnya, Pemohon mengajukan gugatan terhadap Pasal 55 UU PTUN yang menyatakan “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”. Pemohon menceritakan, dirinya dipidana atas kasus korupsi dan telah dijatuhi pemberhentian sebagai PNS pada Kejati Maluku Utara pada 14 Januari 2013. Surat pemberhentian tersebut diperolehnya saat Pemohon mendekam dipenjara sehingga Pemohon terlambat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas pemberhentiannya sebagai PNS di Kejati Maluku Utara. Sebab, menurut Pasal 55 UU PTUN, pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara hanya diberi rentang waktu 90 hari. Pemohon kemudian beranggapan bahwa Pasal 55 UU PTUN tidak memberikan kepastian hukum atas pengujian keputusan tata usaha negara. Selain itu, Pemohon juga beranggapan bahwa jarak Provinsi Maluku Utara serta kondisi geografis Provinsi Maluku Utara dianggap tidak memungkinkan untuk mengajukan gugatan bila hanya diberi waktu 90 hari, sehingga aturan tersebut bersifat diskriminatif.
Dalam putusan perkara No. 57/PUU-XIII/2015 ini, Mahkamah menyatakan dalil Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum. Menurut Mahkamah, Pasal 55 UU PTUN telah memberikan kepastian hukum. Hal ini juga telah dinyatakan dalam putusan Mahakmah Nomor 1/PUU-V/2007. Dalam putusan tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa setiap undang-undang yang menyangkut keputusan/penetapan tata usaha negara (beschikking) selalu ditentukan mengenai tenggang waktu. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid) atas keputusan/penetapan tersebut sampai kapan keputusan/penetapan dapat digugat di pengadilan.
Selain itu, menurut Mahkamah tenggang waktu selama 90 hari untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara tidak dapat dikatakan sebagai peraturan yang diskriminatif. Sebab, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 55 UU PTUN tersebut justru ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa mengistimewakan salah satu wilayah. Kalau kemudian Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan “mengistimewakan” daerah Indonesia Timur untuk perkara ini misalnya, Mahkamah khawatir justru timbul ketidakadilan bagi warga negara lainnya.
Mahkamah juga menyatakan dalil pemohon yang menyatakan warga negara yang berada di bagian Indonesia Timur sulit untuk memenuhi tenggat waktu akibat persoalan geografis wilayah dan sulitnya sarana prasarana tidak beralasan menurut hukum. Sebab dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta ketersediaan waktu yang cukup, masyarakat telah dimudahkan untuk memperoleh keadilan (acces to justice). Terlebih sebenarnya prosedur pengajuan gugatan tata usaha negara tidak harus dilakukan sendiri oleh Pemohon, namun dapat diwakilkan dengan memberi kuasa kepada orang lain.
Oleh karena itu Mahkamah menyimpulkan meski Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara ini. Namun, Mahkamah menilai permohonan Pemohon tidak berasalan menurut hukum. (Yusti Nurul Agustin/IR)