Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi menggelar sidang putusan untuk enam permohonan pengujian undang-undang, Senin (16/11). Pada sidang yang dihadiri sembilan hakim konstitusi itu, tiga permohonan judicial review dinyatakan ditolak sementara sisanya berstatus tidak dapat diterima.
Tiga pengujian beleid yang ditolak majelis hakim konstitusi adalah judicial review terhadap UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah diubah melalui UU Nomor 51 Tahun 2009.
Pada perkara UU Kepolisian, para hakim konstitusi sepakat, kewenangan Polri menerbitkan surat izin mengemudi serta meregistrasi dan mengidentifikasi kendaraan bermotor tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Permohonan tersebut diajukan oleh Koalisi Reformasi Polri yang diinisiasi antara lain oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Pengurus Pusat Pemuda Muhamadiyah, Malang Corruption Watch dan aktivis Gusdurian Alissa Wahid.
Putusan serupa dijatuhkan hakim konstitusi pada pengujian UU Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang diajukan lima warga Surabaya.
Awalnya para pemohon berdalil, pembatasan luas tanah terhadap hak atas tanah yang dimiliki individu maupun badan hukum demi kepentingan umum bertentangan dengan konstitusi.
Namun para hakim konstitusi berpendapat lain. Menurut mereka, pasal 17 ayat (1) pada UUPA bersifat adil, tidak bersifat diskriminatif dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Majelis hakim juga menilai, hak penguasaan negara atas tanah yang tidak dibebani hak atas tanah sesuai dengan UUD 1945.
Sementara itu pada perkara pasal 55 UU PTUN, hakim konstitusi menyatakan, tenggang waktu 90 hari untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, sejak keputusan itu diumumkan, tidaklah melanggar UUD 1945.
Pemohon judicial review ini adalah Jack Lourens Kastanya, mantan jaksa fungsional pada Kejaksaan Tinggi Maluku Utara yang diberhentikan secara tidak hormat. Ia berdalil, pasal 55 UU PTUN merugikan warga negara yang berdomisili di wilayah timur Indonesia.
Jack berdalil, ia tidak dapat menggugat surat pemecatannya karena pada saat keputusan itu keluar ia sedang menjalani pidana penjara selama setahun akibat menerima suap saat menjabat jaksa penyidik di Kejati Maluku Utara.
Kondisi geografis dan akses transportasi yang sulit, kata Jack, juga menyulitkan warga di timur Indonesia melayangkan gugatan TUN dalam 90 hari.
Para hakim konstitusi sepakat, faktor geografis, ekonomi serta sarana dan prasarana tidak dapat dijadikan alasan perlakuan khusus bagi warga negara.
Mereka menyatakan, jika batasan waktu mengajukan gugatan TUN ditentukan berbeda bagi warga negara dengan alasan geografis, maka aturan itu justru akan menimbulkan diskriminasi.
Permohonan tidak diterima
Selain menolak dalil-dalil para pemohon pada tiga judicial review, hakim konstitusi juga tidak menerima tiga permohonan pengujian beleid. Majelis hakim menyatakan, para pemohon tidak memiliki hak uji materi (legal standing) untuk mengajukan judicial review tersebut.
Tiga permohonan itu ditujukan untuk UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan UU Nomor 8 Tahun 2015 yang mengubah UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Permohonan judicial review untuk UU Penyelenggara Pemilu diajukan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini.
Mantan Bupati Tapanuli Tengah, Raja Bonaran Situmeang, merupakan pemohon uji materi KUHAP. Bonaran telah divonis bersalah dan harus menjalani pidana penjara selama empat tahun karena menyuap mantan Ketua MK, Akil Mochtar.
Sementara itu, pemohon uji materi UU Pilkada adalah Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Perindo, Effendy Syahputra. (utd)
Sumber: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151116173800-12-92018/mk-mentahkan-enam-permohonan-pengujian-undang-undang/