Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Universitas Tarumanagara menyelenggarakan “Kompetisi Peradilan Semu Tingkat Nasional Piala Bergilir Ketua Mahkamah Konstitusi 2015”. Kompetisi ini dibuka oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Jumat (13/11), di Auditorium Universitas Tarumanegara.
Dalam sambutannya, Arief menjelaskan kompetisi peradilan semu merupakan salah satu cara meningkatkan mutu kualitas mahasiswa maupun lulusan fakultas hukum. Ia berujar, carut-marut penegakkan hukum di Indonesia disebabkan adanya disparitas mutu lulusan fakultas hukum (FH). Hal ini karena mahasiswa FH lebih cenderung belajar hukum secara teknokratis. “Padahal dalam menegakkan hukum diperlukan adanya simpati, empati dan sinar ketuhanan, tak hanya teknoratis, karena menegakkan hukum juga berkaitan dengan menegakkan keadilan,” ujarnya di hadapan 12 delegasi mahasiswa yang lolos dalam kompetisi tersebut.
Dalam opening ceremony yang juga disambung dengan seminar yang mengangkat tema “Liberalisasi Sumber Daya Alam Indonesia” tersebut, Arief menyampaikan makalah dengan judul “Konsepsi Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Konstitusi”. Ia menyampaikan bahwa Penguasaan negara terhadap sumber daya alam (SDA) diatur dalam Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan,”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. MK, lanjut Arief, memutus beberapa perkara terkait SDA seperti sumber daya air. Ia menegaskan bahwa MK tidak anti pada privatisasi.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang menjadi narasumber dalam seminar itu yang menyampaikan makalah berjudul “Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Indonesia”. Ia menerangkan selama privatisasi tidak merugikan masyarakat sekitar, maka hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Seperti halnya Undang-Undang Sumber Daya Air yang dibatalkan MK seluruhnya, bukan berarti MK anti terhadap privatisasi. Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang SDA tidak memenuhi prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Misal dalam Pasal 1 angka 9 PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang menyebut penyelenggara pengembangan SPAM adalah BUMN/BUMN, koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat. Padahal, Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang SDA sudah dinyatakan pengembangan SPAM tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah. Ini artinya, PP Nomor 16 Tahun 2005 merupakan swastanisasi terselubung dan pengingkaran tafsir konstitusional Mahkamah. Kondisi ini telah melahirkan pola pikir (mindset) pengelola air yang selalu profit oriented dengan keuntungan maksimum bagi pemegang sahamnya. “Hal ini jelas, pasal-pasal privatisasi itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, sehingga harus dibatalkan,” tukasnya. (Lulu Anjarsari/IR)