Ketentuan pemberian surat ijin praktek (SIP) bagi dokter hanya pada tiga tempat ditujukan agar pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih luas. Dengan dibatasinya tempat praktek, dokter memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk merawat pasien secara intensif. Dengan demikian diharapkan kasus-kasus malpraktek akibat kelalaian tindakan medis dari dokter dapat dikurangi.
Demikian disampaikan Menteri Kesehatan (Menkes), Siti Fadilah Supari, saat memberikan keterangan dalam sidang uji materil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (UU PK) di gedung Mahkamah Kostitusi (MK), Jakarta, hari Rabu (11/4). Kalau dokter terburu-buru pindah ke tempat praktek lain karena jadwal praktek yang padat, bisa-bisa ada pisau yang ketinggalan-lah, atau guntinglah yang nyangkut, ujarnya.
Pengujian terhadap beberapa pasal dalam UU PK dilakukan oleh sejumlah dokter dan seorang pasien yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar dengan berlakunya UU tersebut. Pasal-pasal yang dianggap merugikan hak konstitusional para Pemohon adalah pasal 37 Ayat (2) yang memuat pembatasan tiga tempat praktek bagi dokter dan dokter gigi, serta Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 79 huruf a dan Pasal 79 huruf c yang menjatuhkan sanksi pidana bagi dokter dan dokter gigi yang melanggar ketentuan tersebut. Akibat ancaman tersebut, para ahli medis tersebut menjadi tidak berani mengambil tindakan medis apabila tiba-tiba terjadi kondisi gawat darurat di luar tempat prakteknya karena takut dipidana. Sementara di sisi lain, para dokter tersebut memiliki kewajiban moral sesuai sumpah profesi untuk menolong setiap orang yang memerlukan bantuan medis, kapanpun dan di manapun.
Menanggapi hal tersebut, Menkes memberikan alasan bahwa pencantuman dan penerapan saksi pidana ditujukan untuk penegakkan hukum (law enforcement) dan sebagai upaya memberikan perlindungan serta kepastian hukum bagi penerima layanan kesehatan (masyarakat) dan pemberi layanan itu sendiri (dokter dan dokter gigi).
Sanksi Pidana vs. Sanksi Administratif
Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Prof. HAS Natabaya, S.H., L.LM., meminta pemerintah menjelaskan alasan penerapan sanksi pidana atas pelanggaran-pelanggaran pada ketentuan UU PK yang sebenarnya berada pada hukum administrasi. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, SH., MH., juga mempertanyakan dasar penentuan sanksi pidana atas pelanggaran-pelanggaran tersebut. Sementara Hakim Konstitusi lainnya, Maruarar Siahaan, S.H., juga menyoroti kecenderungan over kriminalisasi pada penetapan sanksi-sanksi tersebut.
Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., meminta Pemerintah dan DPR menyiapkan jawaban secara tertulis agar lebih komprehensif. Selain itu, Majelis Hakim juga meminta DPR untuk memberikan risalah persidangan DPR saat perumusan UU PK sebagai bahan pertimbangan pada persidangan berikutnya. Juga akan dihadirkan dan diminta memberikan keterangan beberapa pihak yang terkait dengan perkara ini antara lain Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Konsil Kedokteran, Perhimpunan Rumah Sakit (Persi) serta Lembaga Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia. (ardli)