JAKARTA, (PRLM).- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia dinilai telah mengebiri hak konstitusional bakal calon kepala daerah. Pasalnya, lembaga pengawas penyelenggara pemilu itu dalam rekomendasinya memerintahkan Bawaslu Provinsi Papua agar mencoret Yusak Yaluwo sebagai calon kepala daerah Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.
Pakar hukum tata negara yang juga kuasa hukum Yusak Yalowo, Yusril Ihza Mehendra mengaku geram dengan ulah Bawaslu. Tidak hanya itu Yusril juga siap bertarung dengan Bawaslu menggunakan jalur pengadilan. "Muhammad ini 'kan sinting," katanya melalui siaran pers yang diterima "PR" online, Kamis (12/112015) malam.
Yusril yang juga mantan Menteri Hukum dan HAM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menambahkan, sebelum mengeluarkan surat rekomendasi terhadap status pencalonan seseorang seharusnya Bawaslu belajar memahami amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan pendapat Direktorat Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Secara tegas dan gamblang Yusril menjelaskan Bawaslu harus belajar dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 42/PUU-XIII/2015 tanggal 18 Juli 2015 yang menyatakan bahwa norma Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang yang mengatur syarat untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah menjadi pijakan bagi Yusak Yaluwo dalam maju mencalonkan diri kembali sebagai calon kepala daerah.
Inti dari amar putusan tersebut adalah “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
"Dan sekaligus menyatakan bahwa norma Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan pengecualian yang dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut," katanya.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu membenarkan dalam dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan pandangan mengenai istilah “mantan terpidana” seperti yang tertuang dalam putusan MK tersebut, khususnya jika dikaitkan dengan narapidana yang telah diberi pembebasan bersyarat.
Namun perbedaan pandangan soal tersebut sudah diselesaikan dengan terbitnya fatwa Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 16 September 2015, No: 30/Tuaka.Pid/IX/2015 yang menjawab surat Bawaslu No: 0242/Bawaslu/IX/2015 tanggal 2 September 2015.
Inti dari fatwa tersebut adalah “Bebas bersyarat adalah program pembinaan, untuk mengintegrasikan Narapidana ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Seseorang yang berstatus bebas bersyarat, karena telah pernah menjalani pidana di dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas) maka dikategorikan sebagai "Mantan Narapidana"
Selain itu Kementerian Hukum dan HAM melalui Dirjen Pemasyarakatan pada tanggal 22 September 2015 mengeluarkan surat No: PAS-PK.01.01.02-475 tanggal 22 September 2015 perihal Status Yusak Yaluwo, pada pokoknya menerangkan bahwa Yusak Yaluwo berstatus Klien Pemasyarakatan bukan lagi seorang narapidana dan yang bersangkutan dapat mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah.
"Dengan adanya fatwa MA dan pernyataan Dirjen Pemasyarakatan tersebut maka polemik sekitar apakah seseorang yang berstatus bebas bersyarat tergolong “mantan narapidana” atau tidak semestinya sudah selesai," ujarnya.
Masih kata Yusril dalam undang-undang yang berlaku Mahkamah Agung adalah satu-satunya lembaga yang bewenang memberikan pendapat hukum/fatwa atas permasalahan hukum yang terjadi, seperti karena ketidakjelasan maksud dari suatu norma hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU No 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, serta Pasal 22 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Namun demikian Bawaslu pada tanggal 22 September 2015 mengirim surat kepada KPU RI dengan surat No: 0270/Bawaslu/IX/2015, Perihal: Penjelasan Terkait Persyaratan Mantan Terpidana dalam Pencalonan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang pada pokoknya menyatakan bahwa, “seseorang yang masih menjalani bebas bersyarat belum merupakan mantan terpidana.
Surat Bawaslu ini bertentangan dengan Fatwa Mahkamah Agung yang telah dimintanya sendiri. Tidaklah pada tempatnya jika Bawaslu RI dengan mengada-ada membuat penafsiran hukum sendiri tentang sesuatu yang sama sekali bukan kewenangan dan kompeteni yang diberikan oleh undang-undang kepada Bawaslu sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Tindakan Bawaslu yang salah ini menyebabkan tindakan hukum yang salah di daerah-daerah, salah satunya tindakan Ketua Bawaslu Provinsi Papua yang meminta pengguguran pencalonan Yusak Yaluwo pada tanggal 3 November 2015 No: 152/BAWASLU-PAPUA/XI/2015.
Kemudian pada Kamis (12/11) Yusril mendapatkan salinan Surat Menteri Hukum dan HAM No: M.HH.PK.01.05.06-08 tanggal 9 November perihal jawaban atas Surat Bawaslu No: 0352/Bawaslu/X/2015 tanggal 16 Oktober 2015, yang pada pokoknya menyatakan bahwa mantan terpidana tidak termasuk seseorang yang mendapatkan bebas bersyarat.
"Bahwa hal-hal di atas menyebabkan ketidakpastian hukum, adanya Fatwa Mahkamah Agung yang diminta oleh Bawaslu namun tidak diikuti, kemudian Bawaslu mencari pembenaran atas tindakan yang tidak ditaatinya dengan mengirimkan surat ke Menteri Hukum dan HAM yang kemudian memberikan jawaban yang berbeda. Hal ini tentunya menyebabkan ketidakpastian hukum dan merupakan contoh tindakan yang tidak baik bagi masyarakat sehingga dapat menimbulkan konflik di masyarakat bawah," ujar Yusril. (Miradin Syahbana Rizky/A-89)***
Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/politik/2015/11/12/349686/bawaslu-dinilai-telah-mengebiri-calon-kepala-daerah