Sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang dimohonkan OC Kaligis diwarnai diskusi yang panjang. Masih menyoal makna penyidik dan penyelidik yang dimaksud Pasal 45 ayat (1) UU KPK, Pemerintah lewat ahli yang dihadirkan melakukan counter opinion atas dalil Pemohon yang menyatakan penyidik dan penyelidik KPK tidak penuhi kualifikasi.
Diskusi bermula saat pakar hukum tata negara Oka Mahendra menyampaikan keahliannya selaku ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam sidang perkara No. 109/PUU-XIII/2015 dan 110/PUU-XIII/2015 tersebut. Di hadapan Majelis Hakim, Oka menyatakan, sebagai lembaga independen, KPK wajib memiliki kewenangan untuk mengangkat maupun memberhentikan penyidik dan penyelidiknya sendiri.
Mengutip Pasal 45 ayat (1) UU KPK, Oka mengatakan menurut teori perundang-undangan pasal tersebut memuat kaidah kewenangan. Pasal tersebut mendefinisikan penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Bila dikaitkan dengan teori perundangan dimaksud, Oka menyatakan Pasal 45 ayat (1) UU KPK memberikan kewenangan bagi KPK untuk mengangkat dan memberhentikan penyelidik pada KPK.
Masih terkait dengan definisi penyidik dan penyelidik KPK, Oka mengaitkannya dengan ketentuan dalam Pasal 39 ayat (3) UU KPK yang menentukan penyelidik, penyidik, dan pentutut umum yang menjadi pegawai KPK diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK. Pasal tersebut menurut Oka mengandung persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan perbuatan penyelidikan atau penyidikan. “Artinya dalam hal penyelidik dan penyidik penuntut (yang) berasal dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan, maka yang bersangkutan harus diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai KPK,” ujar Oka dihadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK, Anwar Usman, pada Kamis (12/11).
Meski demikian, Oka menegaskan bahwa Pasal 39 ayat (3) UU KPK tidak mengharuskan penyelidik dan penyidik pada KPK selalu berasal dari Kepolisian. Yang diwajibkan dalam ketentuan tersebut hanya diberhentikan sementara dari Kepolisian maupun Kejaksaan. Hal ini menurut Oka semata-mata demi menghindari konflik kepentingan yang mungkin saja dimiliki penyidik dan penyelidik dari Kepolisian.
Dalam sistem manajemen sumber daya manusia di KPK, lanjut Oka, diatur pembagian pegawai sesuai fungsi dengan memerhatikan kompetensi dan kinerja. Melalui sistem sumber daya manusia yang demikian, KPK mengharapkan dapat menghasilkan pegawai yang memiliki kompetensi yang tinggi sebagai pelaksana tugas, seperti melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Independensi
Terkait dengan sistem manajemen sumber daya manusia KPK tersebut, Oka menegaskan sangat penting bagi KPK untuk memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan pegawai KPK sendiri. Terlebih, KPK didirikan dengan tujuan memerangi tindak pidana korupsi yang sangat merugikan negara. Pantas kemudian bila KPK diberi kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pegawainya, termasuk penyidik dan penyelidik.
“Logis jika KPK diberi wewenang untuk mengangkat sendiri penyelidik dan penyidik KPK agar KPK dapat memerangi korupsi secara optimal, intensif, efektif, profesional, dan berkesinambungan. Penyelidik dan penyidik sebagai pegawai KPK merupakan ujung tombak dalam pengungkapan tindak pidana korupsi, terutama tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. Independensi dan kebebasan KPK dalam melaksanakan tugasnya memberantas korupsi akan terpasung tanpa diberi kewenangan sendiri untuk mengangkat penyelidik dan penyidik KPK,” tegas Oka di Ruang Sidang Pleno MK.
Hal senada juga ditegaskan pakar hukum tata negara dari Univeristas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar. Menyampaikan keahliannya sebagai ahli yang dihadirkan Pemerintah, Zainal mengatakan sebagai lembaga negara yang independen, KPK mempunyai sifat self regulatory body. Artinya, KPK memiliki aturan sendiri untuk menjamin keberadaan dan pola kerjanya.
Menurutnya, menjadi logis ketika UU KPK dan KUHAP menyatakan bahwa penyidik dan penyelidik adalah penyidik dan penyelidik yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK sendiri dan diatur menurut Peraturan KPK. “Hal inilah yang dapat menjadi dasar bagi self regulatory body untuk menjelaskan secara detail mengenai keabsahan dan pengangkatan penyidik tersebut,” urai Zainal melalui fasilitas video conference dari UGM.
Bila dilihat dari doktrin hukum, lanjut Zainal, lembaga negara independen seperti KPK memang dimungkinkan memiliki independensi dalam beragam tingkatan. Tidak hanya dalam hal kelembagaan, melainkan independensi sampai tataran fungsional dalam hal ini sumber daya manusia yang dimiliki untuk menjalankan fungsinya. “Karenanya penyidik haruslah secara personal maupun fungsional adalah independen. Membiarkan penyidik berasal dari kejaksaan dan kepolisian semata tentu akan sangat mungkin mengurangi kadar independensi tersebut,” tegas Zainal lagi.
Menjadi diskusi yang memberikan persepsi baru saat Hakim Konstitusi Suhartoyo menanyakan mengenai kompetensi yang harus dimiliki penyidik maupun penyelidik KPK. Seperti yang didalilkan Pemohon sebelumnya, penyidik dan penyelidik KPK diharuskan berasal dari Kepolisian. Sebab, hanya penyidik dan penyelidik dari Kepolisianlah yang memiliki pengalaman. Terlebih, KPK merupakan lembaga negara yang masih terbilang muda usianya.
Menjawab pertanyaan tersebut, Zainal mengatakan penyidik maupun penyelidik KPK tidak melulu harus berasal dari Kepolisian. Saat ini, KPK memiliki dua pintu masuk untuk merekrut penyidik maupun penyelidik, yakni bisa dari Kepolisian maupun dengan mengangkat sendiri.
Apalagi, Zainal memastikan bahwa keahlian atau kompetensi penyidikan dan penyelidikan bukanlah kompetensi yang tidak bisa dipelajari. Melalui proses pembelajaran hingga pelatihan, sangat dimungkinkan KPK memiliki penyidik dan penyelidik yang tidak melulu berasal dari Kepolisian. (Yusti Nurul Agustin/IR)