Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) pada Kamis (12/11), di Ruang Sidang MK. Para Pemohon dalam perkara yang terdaftar dengan nomor 135/PUU-XIII/2015 ini yakni, Perhimpunan Jiwa Sehat, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA), Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Khorunnisa Nur Agustyati.
Para Pemohon mempermasalahkan konstitusionalitas Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada yang menyatakan, “(3) Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya; dan/atau.” Menurut para Pemohon, Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada telah merugikan hak konstitusional warga negara dan bersifat diskriminatif. Selain itu, juga menghilangkan hak memilih bagi para penderita gangguan kejiwaan karena tidak dapat didaftar sebagai pemilih dalam Pilkada.
“Ada salah pengertian di masyarakat, bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa adalah satu kondisi yang permanen, yang tidak bias diperbaiki, dimana secara konstan terus menerus berada dalam kondisi yang tidak bias memutuskan. Padahal orang dengan gangguan jiwa itu apabila mendapatkan pengobatan dan dukungan social yang tepat, maka dia bias hidup sama seperti orang-orang lainnya,” jelas salah satu Pemohon, Jenny Rosanna Damayanti selaku Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat.
Lebih lanjut, Pemohon menjelaskan bahwa gangguan psikososial atau disabilitas gangguan mental bukanlah jenis penyakit yang muncul terus menerus dan setiap saat. Bagi mereka yang mengidap psikososial, dapat terjadi gejala gangguan mental pada dirinya muncul, dan dapat juga gejala tersebut hilang sehingga yang bersangkutan dapat menjadi normal kembali. Tidak ada yag dapat memastikan kapan seorang pengidap psikososial kambuh gejalanya, dan kapan pula gejala psikososial yang ada pada diri yang bersangkutan hilang.
“Warga Negara yang mengidap gangguan kejiwaan tidak berlangsung terus menerus dan setiap saat. Gangguan kejiwaan kadang dapat hilang dan menjadi normal kembali. Nah, keadaan ini member kesempatan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam Pilkada,” terang kuasa hukum Pemohon, Fadli yang kemudian juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memberikan nasihat kepada Pemohon agar lebih memperjelas kedudukan hukumnya. “Sebab kalau sudah berbadan hukum nanti akan berbeda. Kan ini nanti di Pasal 51 Undang-Undang MK itu kan dibedakan antara hak badan hukum dan perseorangan warga negara Indonesia, misalnya kalau di sini kalau memang belum ada badan hukumnya itu ini diubah saja sebagai kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama saja, begitu saja supaya legal standing dan alasan yang dikemukakan di sini menjadi bisa diterima,” paparnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Aswanto meminta agar para Pemohon lebih mengelaborasi kerugian konstitusional yang dialami. “Saudara juga harus menjelaskan dan mengelaborasi lagi bahwa potensi kerugian atau kerugian faktual yang terjadi,” terang Aswanto. (Panji Erawan/IR)