Sejumlah aktivis, yakni Choky Risda Ramadhan, Usman Hamid, dkk menguji materi ketentuan prapenuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam sidang perdana perkara nomor 130/PUU-XIII/2015 tersebut, Pemohon mendalilkan rumusan Pasal 14 huruf h dan huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 139 KUHAP telah menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Para Pemohon dalam perkara ini tergabung dari berbagai elemen, meliputi peneliti, aktivis, dan juga sekaligus korban dari ketidakjelasan koordinasi fungsional penyidik dan penuntut umum. Berharap melalui permohonan ini, dapat turut aktif dalam memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia guna menjamin kepastian hukum dalam proses peradilan pidana,” ujar kuasa hukum para Pemohon Ihsan Zikri di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (11/11).
Para Pemohon mendalilkan, proses prapenuntutan yang diatur dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, seolah-olah hanya dilakukan apabila ada kekurangan pada penyidikan. Pasal 14 huruf b KUHAP menyatakan, “mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.”
Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut menandakan bahwa prapenuntutan seolah-olah bukan sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana terpadu. Selain itu, ketentuan tersebut juga tidak memposisikan penuntut umum untuk dapat berperan secara aktif dari awal tahapan penyidikan, tapi hanya pada akhir penyidikan.
Para Pemohon juga menilai Pasal 109 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP memiliki dua permasalahan besar, yakni tidak ada penegasan bahwa pelaksanaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) merupakan suatu kewajiban. Selain itu, juga tidak ada kejelasan kapan penyidik wajib memberi tahu penuntut umum saat telah melakukan penyidikan.
Ketidakjelasan prapenuntutan juga terkandung dalam norma Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP terkait frasa dalam waktu tujuh dari dan dalam waktu 14 hari. Menurut pemohon, frasa tersebut tidak memberikan pemaknaan tegas berapa kali mekanisme dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dapat dilakukan.
“Rumusan norma Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan situasi bolak-balik berkas di antara penyidik dan penuntut umum lebih dari satu kali tanpa batasan yang jelas. Praktik bolak-balik berkas tanpa batas waktu, pada akhirnya akan merenggut hak atas kepastian hukum warga negara yang bertentangan dengan Pasal 28D Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” imbuh Ihsan.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Hakim Konstitusi Suhartoyo, mempertanyakan hak konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal dalam KUHAP tersebut.
“Hal-hal yang menunjukkan bahwa anda atau Pemohon merupakan orang yang berhak untuk mengajukan permohonan ini karena hak konstitusionalnya terlanggar. Anda belum jelas menjelaskan, kenapa keempat prinsipal ini mengatakan adanya hak konstitusional yang terlanggar itu, ya? Itu yang harus dijelaskan,” ujar Maria.
Selain itu, Majelis Hakim mengonfirmasi terkait tanda tangan dalam surat kuasa khusus yang dilampirkan Pemohon dalam permohonannya. “Surat Kuasa Khusus Saudara itu ada 24 nama yang diberi kuasa, tapi dari 24 nama yang diberi kuasa, yang menandatangani kalau enggak salah cuma 9. Artinya kan kesepakatan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa itu diwujudkan dalam bentuk penandatanganan Surat Kuasa,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto sembari menyampaikan bahwa Pemohon memiliki waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya, sebelum permohonan tersebut dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). (Lulu Hanifah/IR)