Untuk kesekian kalinya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) kembali diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini Muhammad Asrun, Heru Widodo, dkk, menguji Ketentuan Umum Pasal 1 angka 28 UU Pilkada yang mengatur tentang batasan pengertian hari dalam penyelenggaraan Pilkada.
Sidang perdana perkara Nomor 134/PUU-XIII/2015 ini digelar pada Kamis (12/11) di Ruang Sidang MK dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 28 UU Pilkada yang menyatakan “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: ... 28. Hari adalah hari kalender”.
Para Pemohon beralasan, “hari kalender” sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut dihitung secara hari normal, termasuk hari Sabtu, hari Minggu dan hari bertanggal merah. Pada hari-hari tersebut, pelayanan jasa masyarakat tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Selain itu, penggunaan “hari kalender” juga dinilai para Pemohon tidak mempertimbangkan faktor geografis Indonesia, di mana banyak daerah yang sulit dijangkau dengan transportasi darat, sehingga harus menggunakan layanan penerbangan yang jumlahnya tidak memadai dibandingkan dengan kebutuhan layanan penerbangan bagi masyarakat.
“Waktu penggunaan hari kalender bila bertepatan dengan hari libur sabtu-minggu atau hari bertanggal merah akan sulit menggunakan jasa perbankan guna pembayaran terkait proses menuju Mahkamah Konstitusi guna pendaftaran perkara yang membutuhkan dana penunjang operasional para pihak yang tidak sedikit jumlahnya,” ujar Heru mewakili Pemohon lainnya.
Selanjutnya, para Pemohon beranggapan, jika hari dalam UU Pilkada didefinisikan hari kalender, maka akan menimbulkan permasalahan dalam penyelesaian sengketa, baik di tingkat Bawaslu atau Panwaslu. Selain itu, juga akan menimbulkan masalah dalam persengketaan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara maupun pada persidangan perkara pidana Pilkada di peradilan umum, yang dalam kelazimannya melakukan persidangan dengan menggunakan hari kerja, bukan hari kalender.
Para Pemohon juga berpendapat, norma mengenai penetapan hari yang memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum adalah sebagai yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Pasal 1 angka 28 UU No. 1 Tahun 2015 menetapkan bahwa hari adalah hari kerja. Namun, kata Heru, dalam UU No. 8 Tahun 2015 yang merupakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, norma tersebut diubah dan diganti menjadi hari adalah hari kalender.
“Sehingga justru menimbulkan ketidakadilan bagi para pencari keadilan. Alasannya tentu tidak lain oleh karena sebenarnya norma tersebut mengadopsi dari norma dalam Pemilu Legislatif yang meskipun materi muatannya menjadi sama yakni hari adalah hari kalender. Namun sesungguhnya, Yang Mulia, rasa keadilan yang tercipta berbeda antara situasi terhadap penyelenggaraan pemilu legislatif dengan Pemilukada Serentak,” terangnya.
Heru pun menjelaskan mengenai letak perbedaan antara Pilkada Serentak dan Pemilihan Umum Legislatif. Menurut Heru, dalam Pemilihan Umum Legislatif terdapat jeda waktu yang cukup panjang antara tahapan penetapan rekapitulasi tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan kemudian secara nasional. “Sedangkan dalam penetapan hasil rekapitulasi sengketa Pilkada tidak ada penetapan berjenjang dari kabupaten, kemudian provinsi, kemudian secara nasional. Tapi begitu KPU menetapkan, KPU Kabupaten, berlakulah argo 3x24 jam,” jelasnya.
Untuk itulah, lanjut Heru, para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang frasa hari adalah hari kalender tidak dimaknai sebagai hari adalah hari kerja,” tukasnya.
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar memberikan saran perbaikan terhadap permohonan tersebut. Hakim Konstitusi Aswanto menjelaskan bahwa MK baru saja memutus perkara No. 105/PUU-XIII/2015 terkait dengan penyelesaian hasil sengketa Pilkada yang semula adalah 45 hari kalender, ditafsirkan MK menjadi 45 hari kerja. “Kalau itu yang Saudara-Saudara mau minta, kan sebenarnya sudah selesai, gitu. Sudah selesai itu, kan? Sudah dikabulkan kemarin itu,” jelas Aswanto.
Terkait alasan keterbatasan waktu dan letak geografis, Aswanto menyarankan agar para Pemohon mengelaborasi lebih dalam lagi. Hal itu nanti akan berbenturan dengan sistem informasi teknologi yang sebenarnya bisa mengatasi letak geografis. Untuk itulah, para Pemohon diberi waktu 14 hari kerja dalam melakukan perbaikan terhadap permohonan. (Lulu Anjarsari/IR)