Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak uji materi Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) yang diajukan oleh Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI). Menurut Mahkamah, permohonan yang dimohonkan Pemohon bukan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan penerapan/implementasi norma.
“Mengadili, menyatakan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar Putusan Nomor 2/PUU-XIII/2015 dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu (11/11).
Untuk diketahui, Pemohon menguji ketentuan Pasal 1 angka 8 UU PTUN sepanjang frasa Pejabat Tata Usaha Negara dan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN sepanjang frasa Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan, yang selengkapnya menyatakan:
Pasal 1 angka 8 UU PTUN
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 53 ayat (1) UU PTUN
Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
Menurut Pemohon, frasa “Pejabat Tata Usaha Negara” dalam Pasal 1 angka 8 UU PTUN dalam penerapannya telah menimbulkan multitafsir di Pengadilan Tata Usaha Negara sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemohon mendalilkan, Direktur PT Pertamina diangkat oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga keputusan yang dikeluarkan oleh Direktur PT Pertamina merupakan produk keputusan Pejabat Tata Usaha Negara. Pemohon menceritakan pernah melakukan upaya hukum terhadap keputusan Direktur PT Pertamina, namun Pengadilan memutuskan bahwa keputusan Direktut PT Pertamina bukanlah objek tata usaha negara. “Di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Jakarta diputus bahwa putusan Direktur Utama PT Pertamina bukan merupakan objek tata usaha Negara,” jelas Pemohon.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 8 UU PTUN sepanjang frasa “Pejabat Tata Usaha Negara” bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai secara luas termasuk keputusan Direktur BUMN seperti PT. Pertamina Persero yang mengelola perekonomian negara dalam sektor minyak dan gas bumi dan badan usaha milik negara lainnya.
Selain itu, Pemohon juga meminta Pasal 53 ayat (1) bertentangan dengan Konstitusi sepanjang frasa “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan” bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai secara luas meliputi pihak ketiga yang merasa kepentinganya dirugikan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti serikat pekerja. “Artinya ketika ada putusan-putusan yang dianggap merugikan, serikat pekerja bisa melakukan upaya hukum terhadap itu,” tegasnya.
Pendapat Mahkamah
Menurut Mahkamah, persoalan pokok yang diajukan oleh para Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma undang-undang, melainkan persoalan penerapan norma, dalam hal ini putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. “Pasal 1 angka 8 UU Peratun memberikan pengertian hukum tentang apa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Jika ditambahkan frasa sebagaimana dikehendaki para Pemohon, yaitu frasa termasuk keputusan pejabat BUMN ke dalamnya, norma itu akan keluar dari fungsinya sebagai norma yang bersifat umum” jelas Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Mahkamah melanjutkan, persoalan luas ruang lingkup pengertian badan atau pejabat tata usaha negara bukanlah ditentukan oleh dan dibatasi dalam Konstitusi. Melainkan, oleh dan dalam politik hukum pembentuk undang-undang. Selain itu, ciri keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Oleh karena itu, jelas Mahkamah, jika terjadi gugatan, maka gugatan itu adalah gugatan oleh si individu, baik perseorangan ataupun badan hukum perdata terhadap pejabat atau badan tata usaha negara yang membuat keputusan. Sebab, si individu inilah yang secara konkrit terkena akibat hukum dari tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. (Lulu Hanifah/IR)