BANDA ACEH - Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal), Amrizal J Prang mengatakan pengajuan gugatan uji materi (judicial review) Pasal 205 Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) ke Mahkamah Konstitusi (MK) bukanlah langkah yang tepat. Sehingga ia mengusulkan jika ingin menggugat, maka cukup melakukan legislative review (usul revisi ke DPR).
Pernyataan itu disampaikan Amrizal saat menjadi keynote speaker dalam diskusi “Mengawal, menggugat UUPA dan MoU Helsinki sebagai pertanggungjawaban para pihak terhadap rakyat Aceh” yang digelar oleh Forum Aktivis Aceh, di 3 In 1 Café, Banda Aceh, Senin (9/11).
Amrizal mengatakan bila pasal 205 dijudicial review maka akan memiliki resiko yang fatal, karena bila MK mengabulkan gugatan itu maka semua pihak tidak dapat menempuh upaya hukum apapun lagi untuk menyelamatkannya. Karena keputusan MK bersifat final dan mengikat.
Bahkan ia menilai aneh keputusan menggugat pasal tersebut, karena saat daerah lain di Indonesia berjuang dan menginginkan kebijakan seperti itu, malah Aceh yang sudah mendapatkan melakukan judicial review. “Sehingga saat orang luar melihat kejadian ini, mereka berpikiran ada yang tidak beres di Aceh,” ujar Amrizal.
Walaupun demikian, ia menilai menjucial review pasal 205 bukanlah tindakan yang salah, karena semua warga negara memiliki hak untuk menggugat bila ada yang merasa dirugikan oleh pasal tersebut.
Sehingga untuk menghindari resiko pupusnya upaya hukum bila pasal itu dikabulkan, ia menawarkan elemen sipil yang ingin menggugat dapat melakukan legislative review ke DPR RI atau DPRA, agar pasal itu dibahas dan diperbaiki kembali oleh anggota DPR. “Walaupun prosesnya lama namun legislatife review lebih aman bila ingin mengubahnya, ketimbang judicial review,” tambah Amrizal.
Ide yang sama juga disepakati oleh sejumlah peserta diskusi lain, seperti Politisi Partai Demokrat, Yudi Kurnia dan Partai Aceh, Hendra Fadli. Mereka menilai langkah legislative review lebih bijak dilakukan jika merasa ada yang dirugikan.
Sementara, kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Herri Mauliza menilai legislative review juga memiliki sisi kelemahan, karena jika diajukan legislative review, maka isi pasal itu akan diubah sesuai dengan pemikiran politisi yang menguasai parlemen.
“Apalagi saat ini DPR RI didominasi oleh PDIP P, serta dikhawatirkan akan sesuai dengan pemikiran mereka, sehingga legislative review itu tidak ada jaminan,” tandas Herri.
Ketua YARA, Safaruddin yang ikut hadir dalam pertemuan aktivis Aceh lintas generasi kemarin, mengatakan alasan mereka mengajukan judicial review Pasal 205 UUPA, karena pasal ini dapat menimbulkan kongkalikong atau balas budi antara Kapolda dengan Gubernur.
Pasal 205 UUPA mengatur tentang pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh (Kapolda) harus atas persetujuan atau rekomendasi Gubernur Aceh.
Terkait tindakan pihaknya menggugat pasal itu, Safaruddin mengatakan, sebaiknya aktivis dan akademisi tidak hanya melihat dari sisi historis, namun juga harus melihat sisi kemanfaatan hukum bila pasal itu disahkan. “Jika nanti pasal itu berjalan, maka bisa saja aktivis yang terlalu tajam mengkritik pemerintah akan dikriminalisasi oleh Kapolda atas permintaan Gubernur, karena atas dasar balas budi, jadi kita menggugat agar hal demikian tidak terjadi,” ujar Safaruddin.
Ia juga meragukan legislative review akan membuahkan hasil, karena kondisi saat ini. “Ketika YARA mengajukan surat ke dewan tidak pernah ditanggapi, sehingga seperti tidak ada respons,” kata dia.(mun)