Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang diajukan Muhammad Hafidz dan Solihin, mahasiswa Universitas Ibnu Chaldun. Ketetapan dengan Nomor 127/PUU-XIII/2015 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Rabu (11/11), di Ruang Sidang Pleno MK. “Mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon,” ujarnya.
Menurut Mahkamah, pada 5 November 2015 telah diselenggarakan sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan Pemohon. Dalam sidang tersebut, para Pemohon menyatakan menarik kembali permohonannya dengan alasan bahwa Universitas Ibnu Chaldun-Jakarta tempat para Pemohon menempuh pendidikan telah dinyatakan aktif kembali oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada 15 Oktober 2015. Kemudian, Mahkamah mengadakan Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim pada 9 November 2015 dan menetapkan penarikan kembali Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum. Dengan adanya penarikan kembali permohonan, maka para Pemohon tidak dapat mengajukan permohonan tersebut kembali.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Ketentuan tersebut mengatur sebagai berikut: Perguruan Tinggi yang melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), atau ayat (7), Pasal 33 ayat (6), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (1), Pasal 41 ayat (1), Pasal 46 ayat (2), Pasal 60 ayat (5), Pasal 73 ayat (3) atau ayat (5), Pasal 74 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 78 ayat (2), atau Pasal 90 ayat (5) dikenai sanksi administratif.
Pemohon merasa ketentuan pada Pasal 92 ayat (1) UU Dikti menimbulkan keresahan bagi mahasiswa terutama Pemohon. Hal ini karena universitas tempat para Pemohon menuntut ilmu merupakan salah satu dari 221 perguruan tinggi yang dinyatakan non-aktif akibat telah melakukan pelanggaran administratif. Penonaktifan ke 221 perguruan tinggi ini merupakan akibat dari penerapan ketentuan tersebut. Lebih lanjut, Pemohon merasa dirugikan sebab sanksi administratif yang dijatuhkan oleh Kemristekdikti atau Pemerintah, bukanlah akibat dari penyimpangan yang dilakukan oleh peserta didik. Namun dampaknya justru dialami oleh Mahasiswa, termasuk para Pemohon, yaitu di antaranya terganggunya proses belajar, hingga tidak dapat dilangsungkannya wisuda sebagai tahap akhir dari penyelenggaraan pendidikan tinggi. (Lulu Anjarsari/IR)