Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI) selaku Pemohon uji materiil Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan menghadirkan dua orang ahli dalam sidang keempat perkara No. 117/PUU-XIII/2015, Selasa (10/11) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua ahli yang dihadirkan Pemohon, yaitu Dwi Cipto Budinuryanto dan Ibnu Sina Chandranegara.
Memberikan keterangan ahlinya, Budinuryanto membenarkan dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha peternakan dan kesehatan hewan serta pengaturan mengenai penanaman modal asing di bidang usaha tersebut telah menimbulkan praktik monopoli. Bahkan, menurut Budinuryanto ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan 30 ayat (2) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan tersebut juga dapat merugikan para peternak kecil.
Menurutnya, integrasi penyelenggaraan usaha peternakan yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak cocok dengan kultur peternakan di Indonesia. Hal itu disebabkan dalam bidang peternakan unggas, praktik budidaya integrasi vertikal kerap diartikan sebagai penguasaan dari hulu sampai hilir. Bila dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menyatakan usaha peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan melalui integrasi dengan budidaya lainnya, Budinuryanto mengkhawatirkan praktik integrasi dimaksud justru merugikan para peternak kecil seperti Pemohon.
Sebaliknya, perusahaan kelas kakap yang bermodal besar dapat diuntungkan dengan adanya integrasi atau ketentuan perluasan usaha dengan usaha budidaya lainnya. Budinuryanto menjelaskan, dengan modal besar dan kerja sama dengan koorporasi asing, pengusaha besar dapat dengan mudah melakukan perluasan usaha. Misalnya saja, penyediaan bibit unggul dan pakan ternak berkualitas dapat dengan mudah mereka dapatkan lewat jaringan koorporasi.
“Hal ini (peraturan perluasan usaha, red) barangkali bisa diatur agar timbul daya saing antar pengusaha yang normal,” ujar ahli peternakan dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung itu di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Sementara itu, Ibnu Sina Chandranegara selaku pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan harus memberikan perlindungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 28C dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Menurutnya, adanya kesempatan untuk melakukan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan melalui integrasi dapat menimbulkan terjadinya katerlisasi.
“Bahwa adanya frasa atau melaui integrasi dengan budidaya tanaman pangan (hortikultura), perkebunan, perikanan, kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait dalam Pasal 2 ayat (1), menimbulkan konsekuensi lahirnya peternak industri besar yang memungkinkan adanya penyatuan penguasaan, sekaligus yang dapat melakukan usaha dari hulu sampai hilir. Dari mulai pembibitan (day old chick), budidaya, hingga pengadaan pakan. Adalah beralasan apabila ketentuan norma tersebut dianggap upaya kartelisasi peternakan di Indonesia,” tegas Chandranegara.
Chandranegara juga menyampaikan, Pasal 28D UUD 1945 mengandung substansi bahwa keadilan bukanlah semata perlakuan yang sama. Menurutnya, keadilan dalam arti perlakuan yang sama terjadi pada penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, sehingga peternak kecil disamakan perlakuannya dengan para peternak besar, bahkan yang telah melakukan kerja sama dengan pihak asing.
Usai mendengarkan paparan ahli, Majelis Hakim menyampaikan tanggapannya. Sedikit berbeda dengan para ahli Pemohon, Arief Hidayat dan I Dewa Gede Palguna sangsi bahwa ketimpangan yang terjadi disebabkan aturan mengenai perluasan usaha. Keduanya justru “curiga” ketimpangan yang terjadi antara para peternak kecil dan peternak bermodal besar justru disebabkan adanya undang-undang lain terkait penanaman modal asing.
“Adanya gejala atau tren penguasaan dari sektor hulu sampai ke hilir di bidang peternakan yang sangat menggejala itu dimulai sejak kapan? Kalau sebelum ada undang-undang ini, berarti karena keterbukaan liberalisasi penanaman modal di seluruh sektor di Indonesia yang didasari Undang-Undang PMA. Coba itu diberikan datanya sehingga meyakinkan Hakim,” ujar Arief sebelum menutup sidang. (Yusti Nurul Agustin/IR)