Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan perbaikan permohonan uji materiil Pasal 50 ayat (1) dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna tersebut, Pemohon memperkuat dalil permohonannya.
Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) selaku Pemohon mengutip sejumlah pendapat dari ahli hukum, di antaranya Gustav Radbruch. Menurut Gustav Radbruch terdapat tiga ide hukum, yakni kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Ketiga ide hukum itu merupakan hak dasar warga negara yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara yang termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Diwakili Syaugi Pratama sebagai kuasa hukum, Pemohon juga mengutip pendapat Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahasa peraturan memiliki ciri-ciri kejelasan pengertian, kejernihan, kelugasan perumusan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas dalam penggunaan kata-kata sesuai dengan kebutuhan hukum yang dihadapi. “Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, kata segera dalam pasal a quo tidak mencerminkan hukum pidana modern yang mengandung unsur norma hukum yang tegas sekali dan sekaligus unsur kemanusiaan dan perikemanusiaan. Oleh karena itu, tidak memberikan kepastian hukum mengenai jangka waktu sebagaimana dimaksud dengan pasal a quo,” urainya dalam sidang perkara nomor 123/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang MK, Jakarta, Selasa (10/11).
Pemohon melanjutkan, kepastian hukum secara filosofis adalah kepastian hukum yang harus mengandung keadilan, bukan hanya kepastian dalam undang-undang. Persoalan ketidakpastian hukum pun pernah ada dalam putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah memberikan tafsir yang menyatakan bahwa kata segera pada Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana telah dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Kepastian hukum inilah yang menurut kami tidak memberikan keadilan bagi para tersangka. Menjadi persoalan dalam pasal a quo dalam persoalan kepastian hukum adalah kata segera tidak memberikan jangka waktu yang pasti,” imbuhnya.
Pemohon kemudian menilai, Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) perlu rumusan secara limitatif yang memberikan jangka waktu, seperti halnya Pasal 88 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP yang memberikan jangka waktu penyerahan berkas perkara tersangka ke penuntut umum. Apabila permohonan dikabulkan, Pemohon optimistis putusan tersebut akan semakin mendorong profesionalisme aparat penegak hukum, terutama penyidik dan penuntut umum dalam mempersiapkan berkas perkara hingga ke pengadilan. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan kata segera pada Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak lebih dari 60 hari apabila tersangka ditahan, 90 hari apabila tersangka tidak ditahan.
Sebelumnya, kata ‘segera’ dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dinilai tidak memberikan jangka waktu yang pasti sehingga tidak menjamin kepastian hukum bagi tersangka. Adapun bunyi ketentuan yang dimohonkan pengujiannya, adalah:
Pasal 50 ayat (1)
“Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”
Pasal 50 ayat (2):
“Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.”
“Apabila melihat kenyataan dalam tatanan praksis, banyak seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka tidak juga dilakukan penuntutan dengan melimpahkannya ke pengadilan dengan alasan melengkapi berkas penyidikan,” ujar Pemohon, Selasa (27/10).
Tanpa ada batasan waktu tertentu, imbuh Pemohon, dapat saja seseorang menjadi tersangka seumur hidup. Hal tersebut yang kemudian dianggap Pemohon bertentangan dengan hak tersangka untuk mendapat proses hukum yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. (Lulu Hanifah/IR)