Tradisi hukum di Indonesia telah berlangsung sejak lama, jauh sebelum masyarakat Indonesia berkenalan dengan tradisi hukum Barat. Bahkan, pada beberapa daerah di Indonesia, hingga kini hukum adat telah menjadi panduan utama dalam hidup bermasyarakat, meskipun saat ini telah ada norma hukum nasional. Dari sekian banyak hukum adat di Nusantara, hukum Islam telah memberi pengaruh yang cukup signifikan dalam membangun tradisi hukum-hukum adat tersebut.
Berbeda dengan hukum Islam yang hadir melalui proses adaptasi dan adopsi yang halus sehingga dapat membawa pengaruh positif pada hukum adat, tradisi hukum Barat pada awalnya dibangun melalui pemaksaan terhadap masyarakat Nusantara. Meskipun demikian, masa penjajahan yang berlangsung berabad-abad telah meciptakan praktek hukum Barat (Belanda) yang cukup luas dan dalam waktu yang lama. Hal inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia tidak bisa keluar dari praktek sistem hukum Barat tersebut. Sehingga, setelah Indonesia merdeka, sistem hukum Baratlah yang diterjemahkan menjadi hukum nasional.
Demikian disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., di hadapan para guru besar dan civitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) pada acara Dies Natalis UIN SGD ke-39, di Bandung hari Senin (9/4) kemarin. Pada acara tersebut, Prof. Jimly menyampaikan orasi ilmiah dengan tema Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Hukum Islam, dan Integrasi Pendidikan Hukum. Selain Rektor UIN SGD Prof. Dr. H. Nanat Fatah Natsir, M.S, turut hadir dalam acara tersebut Gubernur Jawa Barat, Dany Setiawan, Ketua Fraksi PKB MPR RI, Prof . Drs. KH. Cecep Syarifuddin, M.Pd., serta para guru besar dan segenap civitas akademika UIN SGD.
Dalam orasi ilmiah yang disampaikan tanpa teks itu, Jimly juga menyampaikan bahwa kekuasaan penjajahan yang berlangsung cukup lama telah memunculkan dikotomi antara hukum Islam dan hukum Nasional. Akibat dikotomi tersebut muncul dualisme sistem hukum yang seakan-akan bertentangan satu sama lain. Jika kita mau beragama yang benar, maka kita harus tunduk taat kepada hukum Islam. Sedangkan kalau kita mau menjadi warga negara yang baik, kita harus tunduk pada hukum nasional. Antara kebangsaan dan ke-Islaman menjadi dua fenomena yang kadang-kadang saling bertentangan, jelasnya.
Menurut Jimly, dampak dari adanya dikotomi tersebut masih terasa hingga tahun 80-an, yang mana kesadaran hukum umat Islam masih terus dibentur-benturkan dengan kesadaran hukum nasional.Kalau seorang muslim ingin menjadi warga negara yang baik, maka seolah-olah dia harus jauh dari hukum agamanya. Sebaliknya, jika mau masuk surga dia harus jauh dari hukum nasionalnya, tambahnya pula.
Tak Perlu Reduksi Syariat Islam
Terkait dengan maraknya ide penegakkan syariat Islam sebagai hukum nasional, Prof. Jimly menegaskan bahwa syariat Islam merupakan hukum yang berlaku bagi setiap orang Islam. Selain itu, hukum Islam juga merupakan hukum tertinggi bagi manusia (umat Islam) dalam konteks kehidupan beragama yang mengurusi semua kehidupan manusia. Sementara urusan kehidupan bernegara hanyalah sebagian saja dari urusan manusia. Oleh karenanya, syariat Islam tidak perlu direduksi maknanya menjadi sekedar persoalan hukum negara. Karena sesungguhnya hukum nasional pun secara tidak langsung bersumber dari hukum agama.
Menutup orasinya, Jimly kembali mengingatkan keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat Indonesia. Karena adanya keragaman, jelas Jimly, hukum yang berlaku adalah hukum yang dapat memayungi keragaman tersebut, yaitu hukum nasional berdasarkan Pancasila. Hukum inilah yang menjadi perjanjian seluruh rakyat Indonesia. Sebagai orang yang beragama, maka saya mengajak kita semua, khususnya umat Islam, untuk menaati perjanjian bersama itu. Apalagi Islam sangat menjujung tinggi sikap menepati janji, imbuhnya. (ardli)