Ketiadaan penjelasan terhadap Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1945 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan) telah membuat membuat ketentuan penetapan kawasan pabean multitafsir, dan merugikan aparat pabean dalam menjalankan tugasnya. Pandangan ini disampaikan oleh Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Badan Penyelidikan dan Pelatihan Keuangan Ahmad Dimyati, selaku ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang uji materiil UU Kepabeanan, pada Senin (9/11) di Ruang Sidang MK. Mantan Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai, Entikong Kalimantan Barat, Iwan Jaya tercatat sebagai Pemohon dalam perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 113/PUU-XIII/2015 tersebut.
“Tidak adanya penjelasan Pasal 5 ayat (4) dapat menimbulkan penafsiran bahwa jika kawasan pabean belum ditetapkan oleh menteri, maka kegiatan impor atau ekspor tidak sah. Penjelasan Pasal 5 ayat (4) diperlukan untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda yang dapat merugikan aparat pabean dalam menjalankan tugasnya,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Padahal, lanjut Ahmad, penetapan kawasan pabean bertujuan untuk memudahkan pengawasan pabean sambil menunggu penyelesaian kewajiban pabeannya. Menurutnya, prosedur penyelesaian kewajiban pabean dapat dilakukan di tempat-tempat yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean atau ditempat lain asalkan di tempat tersebut dapat dilakukan pengawasan pabean. “Pemenuhan kewajiban pabean dianggap sah apabila dilakukan di kantor pabean, kantor pabean tersebut ditetapkan oleh menteri keuangan. Keberadaan kawasan pabean dimaksudkan untuk memudahkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam melakukan pelayanan dan pengawasan kepabeanan, sehingga sahnya pemenuhan kewajiban pabean tidak tergantung adanya kawasan pabean,” paparnya.
Sementara ditinjau dari segi pembentukan perundang-undangan, ahli Pemohon lainnya, Ridwan mengungkapkan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan justru membuat ketidakpastian hukum bagi masyarakat. Sebab, masyarakat tidak bisa membedakan bagian yang dijadikan dasar hukum. Ketidakpastian ini berdampak serius karena menyangkut keuangan negara. “Orang yang salah dalam menafsirkan ketentuan itu, maka konsekuensinya cukup serius, ternyata karena itu menyangkut keuangan negara itu, jadi kalau penafsirannya menyimpang padahal itu menyangkut hak negara untuk memungut dari seseorang yang terkait dengan masalah pendapatan negara ini, akan menimbulkan konsekuensi yang cukup serius,” terangnya.
Ridwan kemudian menyimpulkan, Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan merupakan sumber masalah utama, sehingga terjadilah kasus yang dialami Pemohon. Untuk itu, Ridwan menyarankan agar Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan dihapuskan. “Ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) itu sudah jelas yang menjadi problem adalah penjelasannya karena penjelasan Pasal 5 ayat (3) itu sesungguhnya tidak diperlukan gitu, karena itu mengandung masalah-masalah hukum, ya, di dalamnya tidak boleh memuat norma tetapi ada norma,” ujarnya.
Untuk diketahui, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 5 ayat (4) UU Kepabeanan. Pasal 5 ayat (4) UU Kepabeanan menyatakan “Penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri”. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut telah merugikan dirinya karena bersifat multitafsir.
Pemohon menjelaskan, dirinya telah dituntut dengan dakwaan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah memperbolehkan para importir untuk melakukan kegiatan impor. Impor tersebut yaitu memasukkan barang dari Negara Malaysia ke Negara Indonesia dengan menggunakan Pemberitahuan Impor Barang (PIB), invoice dan packing list seolah-olah Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong merupakan kawasan pabean.
Menurut Pemohon, terdapat perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU Kepabeanan. Di salah satu pihak (Polda Kalbar, Jaksa Penuntut Umum Kejati Kalbar, dan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pontianak) mengatakan bahwa di PPLB Entikong tidak bisa dilakukan kegiatan impor dengan menggunakan PIB karena PPLB Entikong belum ditetapkan sebagai kawasan pabean oleh Menteri Keuangan. Sedangkan di pihak yang lain (Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Dalam Negeri) menyatakan sebaliknya, bahwa di PPLB Entikong bisa dilakukan kegiatan impor dengan menggunakan PIB meskipun PPLB Entikong belum ditetapkan sebagai kawasan pabean oleh Menteri Keuangan. (Lulu Anjarsari/IR)