Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) yang diajukan oleh Komisioner Komisi Yudisial (KY) Taufiqurrahman Syahuri, pada Selasa (10/11), di Ruang Sidang MK. Kuasa hukum Pemohon, Vivi Ayunita menyatakan perbaikan permohonan dilakukan dengan memperkuat kedudukan hukum Pemohon (legal standing).
Menurut Vivi, Pemohon memiliki legal standing untuk menguji ketentuan izin pemeriksaan pejabat negara di MA dan KY oleh Kepolisian dalam Pasal 17 ayat (1) UU MA dan Pasal 10 ayat (1) UU KY. Sebab, Pemohon Taufiqurrahman Syahuri selaku Komisioner KY memiliki kewajiban untuk menjaga martabat hakim, termasuk Hakim Agung. Oleh karena itu, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan seluruh tindakan Kepolisian terhadap pejabat negara di MA dan KY perlu izin Presiden.
“Meski tidak memiliki kepentingan langsung, Pemohon menegaskan bahwa sebagai Komisioner KY, ia memiliki kewajiban untuk menjaga martabat hakim, termasuk Hakim Agung. Oleh karena itu, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan seluruh tindakan kepolisian terhadap pejabat negara perlu izin Presiden,” ujar Vivi kepada majelis hakim panel yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Sebelumnya, Pemohon menilai Pasal 10 ayat (1) UU KY dan Pasal 17 ayat (1) UU MA telah menciderai hak konstitusional Pemohon.
Pasal 10 ayat (1) UU KY menyatakan,
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
Pasal 17 ayat (1) UU MA menyatakan,
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal:
a.tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau;
b.berdasarkan bukti permulaan yang cukup, disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
“Materi pasal a quo tidak mengandung asas keadilan, persamaan hukum dan pemerintahan, ketertiban, dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” jelas kuasa hukum Pemohon Andi Muhammad Asrun pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan, Selasa (27/10).
Asrun menjelaskan, Pasal 10 ayat (1) UU KY dan Pasal 17 ayat (1) UU MA telah membuat repot Hakim Agung maupun Komisioner KY. Sebab, jika terdapat masalah hukum terhadap Hakim Agung atau Komisoner KY, maka Kepolisian memanggil pihak yang bersangkutan untuk diperiksa. Menurutnya, dalam rangka menjaga martabat dan wibawa Hakim Agung maupun KY, maka dalam pemeriksaan permasalahan hukum harus terlebih dahulu ada izin dari Presiden.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 10 ayat (1) UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepajang tidak dimaknai “Ketua, Wakil ketua, dan Anggota Komisi Yudisial dapat dipanggil, dimintai keterangan, penyidikan, ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden.” Demikian juga dengan Pasal 17 ayat (1) UU MA, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat dipanggil, dimintai keterangan, penyidikan, ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapatkan persetujuan Presiden.” (Panji Erawan/IR)