Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) pada Selasa (10/11) siang, di Ruang Sidang MK. Permohonan perkara yang terdaftar dengan nomor 131/PUU-XIII/2015 tersebut diajukan oleh beberapa orang mahasiwa, Dani Safari Effendi, dkk serta badan hukum privat yang diwakili Ketua Yayasan Al-Inayah, Didin Sujani.
Dalam permohonannya, para Pemohon mengungkapkan secara konstitusional telah dirugikan pemenuhan hak konstitusionalnya dengan adanya Putusan MK Nomor 100/ PUU-XIII/2015 terkait jajak pendapat untuk calon tunggal kepala daerah. Pemohon menganggap, hukum nasional di Indonesia tidak mengenal pemilihan Presiden dan pemilihan kepala daerah melalui hukum liberal atau hukum barat seperti referendum tersebut.
Lebih lanjut, Pemohon menilai jajak pendapat untuk calon tunggal kepala daerah berpeluang menimbulkan saling gugat antara pemilih dan calon tunggal. Sebab, jajak pendapat tersebut di luar hukum nasional yang tanpa dasar dan kepastian huku. Sehingga, lanjut Pemohon, akan terjadi banyak pelanggaran seperti intimidasi, pemaksaan, dan politik uang. Selain itu, pemilihan dengan calon tunggal mengakibatkan warga tidak akan bebas memilih figur yang diharapkan, karena harus melalui satu pintu pengusulan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan format ‘Setuju’ atau ‘Tidak Setuju’.
Pemohon juga beranggapan, jajak pendapat untuk calon tunggal kepala daerah akan membuyarkan semangat kebebasan demokrasi. Kebabasan demokrasi dinilai akan berganti menjadi semangat persaingan yang tidak sehat. Oleh karena setiap calon dan pemilih terdorong melakukan berbagai cara untuk dapat diusulkan KPU sebagai calon tunggal.
Menanggapi dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna sempat mengingatkan kepada Pemohon bahwa alasan dalam permohonan seakan menganggap MK tidak ada dan tidak mengakui putusan MK.terkait jajak pendapat untuk calon tunggal kepala daerah. “Anda masih mengakui keberadaan MK atau tidak? Apalagi Anda mengatakan UU No. 8 Tahun 2015 tidak mendasarkan pada putusan MK. Kami melihat alasan permohonan Anda menganggap MK tidak ada, tidak mengakui putusan MK. Kalau Anda tidak mengakui MK, bagaimana mungkin mencari keadilan di lembaga yang Anda tidak akui,” urai Palguna.
Hal lain, Palguna menyarankan agar dalam uraian kerugian konstitusional Pemohon dipisahkan antara hak Pemohon sebagai perorangan dengan hak Pemohon sebagai badan hukum. “Apa kerugian Pemohon sebagai orang perorangan dan apa kerugian Pemohon sebagai badan hukum,” tegas Palguna.
Sementara itu Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengingatkan bahwa MK menguji norma suatu Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Patrialis juga menyarankan agar para Pemohon memperbaiki kerugian konstitusional yang dialami. “Terkait permohonan, saya menyarankan agar Saudara Pemohon lebih menguraikan kerugian konstitusional Pemohon. Selain itu Saudara harus mempelajari juga beberapa putusan MK,” tandas Patrialis. (Nano Tresna Arfana/IR)