Mahkamah Konstitusi (MK) menggerlar kegiatan “Sosialisasi Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara bagi Pimpinan Pondok Pesantren se-Indonesia Angkatan III” pada 6-8 November 2015 di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua Bogor. Acara yang terselenggara atas kerja sama MK dengan Kementerian Agama tersebut diikuti oleh 100 pimpinan pondok pesantren. Adapun tujuan dari kegiatan tersebut yaitu untuk meningkatkan kesadaran pemahaman Konstitusi bagi warga negara, khususnya bagi mereka yang berada di lingkungan pondok pesantren.
“Kegiatan Sosialisasi Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara ini agak istimewa karena dibarengi dengan peluncuran Program Indonesia Pintar. Materi yang akan disampaikan, selain mengenai Pancasila dan Konstitusi, juga ada materi terkait Program Indonesia Pintar,” kata Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Noor Sidharta saat membuka acara, Jumat (6/11).
Sejumlah Pembicara hadir dalam acara tersebut, seperti pakar hukum tata negara Saldi Isra, M. Ali Safaat, dan Andi Irmanputra Sidin. Mengawali pemberian materi, Saldi menjelaskan tentang “Konstitusi dan Konstitusionalisme”. Dijelaskan Saldi, kalau orang menyebut Konstitusi, di dalamnya termaktub dua makna, yakni Konstitusi dalam pengertian sempit dan dalam pengertian luas. Konstitusi dalam arti sempit adalah hukum dasar sebuah negara yang dibuat dalam bentuk tertulis. Sedangkan Konstitusi dalam pengertian luas adalah hukum dasar sebuah negara tidak hanya yang tertulis, tapi di dalamnya termaktub hukum-hukum dasar yang tidak tertulis.
Terkait dengan konstitusi, lanjut Saldi, terdapat ajaran yang pada prinsipnya mendesain bagaimana kekuasan-kekuasaan yang ada dalam negara bisa dibatasi, yaitu konstitusionalisme. “Kalau kekuasaan tidak dibatasi, dia cenderung melebar dan disalahgunakan. Makanya dalam teori hukum tata negara dikenal dengan adanya checks and balances. Jadi ada upaya untuk men-check dan mengimbanginya,” urai Saldi.
Sementara itu, M. Ali Safaat menerangkan tentang “Pancasila dan Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara.” Menurut Syafaat, Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai yang bersumber pada masyarakat Indonesia sendiri. Pancasila juga merupakan ideologi nasional. “Harus diakui, satu ideologi nasional dipengaruhi banyak hal, antara lain tujuan dan fungsi negara, ajaran ideologi dan konteks sosial,” urai Syafaat yang kemudian juga menjelaskan bahwa tujuan dibentuknya negara adalah untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang hal ini terkandung dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai hukum tertinggi dalam negara.
Suasana acara menjadi hangat dengan kehadiran Pembicara Irmanputra Sidin yang langsung mengajak para peserta sosialisasi untuk berdiskusi langsung dan melakukan sharing. Di antaranya ada yang menanyakan peran negara hukum terhadap hak konstitusional warga negara. “Negara hukum adalah jaminan hukum terhadap terpenuhinya hak-hak kita sebagai warga negara. Negara hadir untuk memenuhi hak-hak kita sebagai warga negara, esensinya begitu,” jelas Irman.
Selain itu, Irman menjawab pertanyaan peserta mengenai hak warga negara terkait kebebasan menyampaikan informasi dan peran negara atas hak atas pendidikan. “Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berbicara, kebebasan menyampaikan informasi, kebebasan berbicara. Kemudian mengenai hak atas pendidikan, UUD 1945 menyebutkan bahwa negara wajib menjamin hak atas pendidikan warga negara. Dalam APBN dan APBD minimal 20 persen harus dipotong untuk jaminan hak-hak pendidikan warga negara,” imbuh Irman.
Selanjutnya ada Pembicara Noor Sidharta yang mengangkat tema “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”. Sidharta mengatakan, perubahan fundamental dari UUD 1945. Sebelum perubahan UUD 1945 Pasal 1 ayat 2 berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Setelah perubahan UUD 1945 Pasal 1 ayat 2 menyebutkan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.” Hal ini diartikan bahwa MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara, kedudukan setiap lembaga negara ditentukan oleh fungsi dan wewenangnya yang diberikan oleh UUD. Masing-masing lembaga negara saling mengawasi dan saling mengimbangi.
Sidharta juga memaparkan bahwa MK di Indonesia baru dibentuk pada 13 Agustus 2003. Meski demikian, pada masa perjuangan gagasan membentuk MK sudah dicetuskan oleh Mohammad Yamin. Namun, gagasan tersebut ditolak sebab saat itu belum banyak sarjana hukum di Indonesia yang berpengalaman untuk menguji undang-undang. MK memiliki sejumlah kewenangan yaitu menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus perselisihan hasil Pemilu dan memutus pembubaran partai politik. MK memiliki satu kewajiban konstitusional yakni memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat terkait pemakzulan Presiden.
Usai Sidharta menyampaikan materi, hadir Pembicara Janedjri M. Gaffar dengan materi “Mahkamah Konstitusi dan Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.” Janedjri menerangkan, Perselisihan Hasil Pemilihan adalah perselisihan antara peserta pemilihan yakni Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati serta Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota dengan Penyelenggara Pemilihan yakni KPU di Provinsi/Kabupaten/Kota. Sedangkan yang dipersoalkan adalah penetapan perolehan suara hasil pemilihan.
“Kita sama-sama tahu bahwa ada persoalan normatif yang sudah diatur oleh Undang-Undang. Ada pelanggaran kode etik, pelanggaran administrasi, sengketa tata usaha negara, tindak pidana pemilihan. Itu masing-masing sudah diatur dalam Undang-Undang. Khusus jika ada perselisihan hasil pemilihan, maka Mahkamah Konstitusi lah yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilihan,” papar Janedjri.
Janedjri menjelaskan, para pihak dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota terdiri atas pihak Pemohon yakni Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, atau Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota. Berikutnya adalah pihak Termohon yakni KPU/KIP Provinsi/Kabupaten/Kota. Selain itu ada pihak Terkait yaitu Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, atau Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota yang memperoleh suara terbanyak berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon dan mempunyai kepentingan langsung terhadap permohonan yang diajukan oleh Pemohon. (Nano Tresna Arfana/IR)