Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat memberikan kuliah umum bagi mahasiswa dan civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, Rabu, (4/11). Memberikan materi bertajuk “Penegakan Hukum yang Beretika”, Arief menyatakan pentingnya masyarakat memahami kultur/budaya hukum yang baik. Dengan adanya penerapan budaya hukum yang baik, maka kehidupan bernegara akan tertata dengan baik. Wajah budaya hukum suatu bangsa, kata Arief, secara sederhana dapat terlihat dari perilaku masyarakatnya dalam berlalu lintas di jalan.
“Kehidupan di Indonesia sangat tercermin di kehidupan lalu lintas, kalau sudah sepakat untuk taat pada aturan lalu lintas berarti kehidupan negara itu sudah tertata bagus,” kata Arief.
Lebih lanjut, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro itu mengatakan bahwa saat ini etika menjadi hal yang langka, termasuk bagi kalangan sarjana hukum. Padahal, tegas Arief, hukum secara universal merupakan kristalisasi dari etika dan moral. Bahkan menurut Arief, hukum di Indonesia tidak tidak hanya merupakan kristalisasi nilai-nilai etika dan moralitas, tetapi juga nilai Ketuhanan.
Arief menerangkan, landasan Negara yang menjadi pilihan para pendiri bangsa Indonesia berbeda dengan negara lain. Misalnya saja di Turki yang menganut paham sekuler, warga negara tidak boleh menonjolkan identitas agamanya. “Saya mendapat cerita dari Ketua Mahkamah Turki, kalau pengacara beracara di pengadilan tidak boleh memakai hijab, karena hijab mencerminkan agama tertentu,” ujar Arief, sembari menjelaskan bahwa larangan itu oleh MK Turki telah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi.
Arief kemudian menjelaskan landasan Negara Indonesia. Menurutnya, prinsip Ketuhanan yang dianut Indonesia merupakan bentuk kerelaan para tokoh Islam yang menyusun Konstitusi yang lebih mementingkan persatuan dengan mengakomodir umat agama lain. Sikap tersebut merupakan bentuk sifat luhur, etika, moral dari para pendiri bangsa yang disinari nilai Ketuhanan. Berkaca dari keadaan itu, Arief menilai kondisi bangsa pada awal-awal kemerdekaan, baik masyarakatnya maupun para elit politik hidup dalam keadaan high trust society.
“Tapi sekarang kita lihat, bagaimana kita hidup saling curiga, saling tidak percaya, dan itu sudah menjalar kemana-mana, ke kehidupan politik, kehidupan ekonomi, kehidupan sosial, kehidupan budaya dan kehidupan agama, sehingga kita hidup jauh dari keadaan yang jauh dari suasana apa yang sudah dicontohkan oleh para the founding fathers. Kita dalam keadaan low trust society. Bagaimana kita bisa membangun kalau tidak saling percaya,” ujarnya.
Konstitusi yang Lengkap
Selanjutnya, Arief menyampaikan bahwa Konstitusi Indonesia adalah Konstitusi yang lengkap. “Kalau di Indonesia ternyata Konstitusi kita bernilai politik, bernilai ekonomi, bernilai sosial, bernilai budaya, juga bernilai spiritual, bernilai agama, kita lihat di dalam Pasal 29 UUD 1945. Tidak ada dalam Konstitusi di negara manapun yang mengatur kehidupan beragama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” kata Arief sekaligus menjelaskan bahwa Konstitusi Indonesia menganut paham religiuos wellfare state, sehingga kesejahteraan di Indonesia adalah kesejahteraan lahir dan batin.
Arief juga menilai Indonesia tidak hanya sebagai negara demokrasi, melainkan juga sebagai negara nomokrasi, di mana pelaksanaan demokrasi harus berdasar hukum. Di samping itu, menurutnya pelaksanaan prinsip Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis juga harus berada dalam bingkai nilai-nilai Ketuhanan yang berwawasan lingkungan atau ekologi. Dengan demikian, kata Arief, pengelolaan negara Indonesia harus memiliki empat nilai itu yakni demokrasi, nomokrasi, teologi, dan wawasan lingkungan. (Ilham/IR)