Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. sangat berharap nanti pada saat terjadinya persaingan pemilihan umum (pemilu) di Tahun 2009, maka semua partai politik, semua peserta pemilu, dan semua jajaran penyelenggara pemilu, siap betul menyelenggarakan kegiatan pemilu dan juga siap menyelesaikan bilamana timbul perselisihan mengenai hasil-hasil pemilu itu.
Pengalaman Tahun 2004, menurut kami sangat pahit. Waktu itu (MK) masih sangat baru dan perkara yang masuk hampir 500 kasus dari seluruh Indonesia. Dari 500 kasus itu yang kami terima resmi sebagai perkara hanya 376 dan mengingat waktunya sangat pendek untuk menyelesaikan perkara-perkara sengketa hasil pemilu, maka kami menganggap sangat penting adanya usaha untuk konsolidasi internal partai-partai politik sebagai peserta pemilu dan juga internal penyelenggara pemilu, ungkap Jimly dalam acara Halaqah dan Temu Wicara Hukum Acara MK RI di Jakarta, Jumat 6 April 2007.
Jimly mencontohkan, pada saat menyelesaikan sengketa hasil pemilu, orang berperkara di MK dengan asumsi seperti di pengadilan negeri. Para pihak yang berperkara datang ke MK dengan membawa profesor-profesor, doktor-doktor ahli hukum yang biasa berdebat mengenai pasal-pasal. Padahal yang diperdebatkan di sidang MK tentang perkara perselisihan hasil pemilu bukan urusan pasal, tapi urusan kalkulator, soal hitung-hitungan suara, ungkap Jimly.
Bila partai politik dan KPU beserta jajarannya tidak siap dengan mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilu di MK, maka ada kemungkinan persidangan yang waktunya sangat terbatas itu, dimanipulasi oleh aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Hal itu membahayakan kualitas demokrasi kita. Oleh karena itu, mengingat Tahun 2008 nanti besar kemungkinan perhatian pimpinan partai sudah tidak lagi tetek bengek seperti ini (acara temu wicara red.), sudah menatap ke Tahun 2009, maka kami menganggap perlu membagi informasi khususnya mengenai prosedur beracara di MK yang ada kaitan kepentingan dengan partai politik. Itulah sebabnya kami mengadakan acara temu wicara dengan semua partai politik, jelas Jimly.
Selain itu, maksud dari diselenggarakannya acara temu wicara ini, papar Jimly, supaya masing-masing partai politik siap melakukan konsolidasi. Saya rasa, kebutuhan kita untuk membangun demokrasi yang berkualitas memang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan kita melakukan konsolidasi kelembagaan partai politik. Jadi kegiatan ini tentu semoga sangat mendukung seluruh jajaran PKB sampai ke daerah-daerah, supaya sungguh-sungguh siap, tambah Jimly.
Bila perlu, usul Jimly, nanti sesudah pemungutan suara ada lokakarya-lokakarya khusus yang diselenggarakan oleh partai politik untuk membantu nasib kawan-kawan yang boleh jadi terpengaruh oleh perkara yang ada di MK. Karena, pengalaman Tahun 2004 yang lalu, peserta Pemilu ada 24. 23 partai politik terlibat aktif di dalam proses beracara di MK, sebab kalau suara partai A berubah gara-gara putusan MK, suara partai lain tentunya terpengaruh. Oleh karena itu semua partai hendaknya juga mempersiapkan diri. Jangan sampai nanti, sesudah ada putusan, jadi kaget. Itu pengalaman Tahun 2004 lalu, pinta Jimly.
MK mempunyai kaitan erat dengan partai politik tidak hanya untuk urusan perselisihan hasil pemilu, tetapi MK juga didesain dalam UUD sebagai pelindung kemerdekaan berserikat. Partai politik sekarang tidak boleh lagi dibubarkan oleh pemegang kekuasaan. Partai politik hanya bisa dibubarkan melalui proses peradilan dan tempatnya di MK. Partai politik harus memahami juga bagaimana caranya partai politik dibubarkan. Selain itu, sebagian besar perkara di MK yang masuk adalah tentang pengujian undang-undang. Pengadilan terhadap konstitusionalitas undang-undang. UU itu adalah produk lembaga legislatif yang terdiri dari anggota partai politik semua. Untuk itu perlu ada penyamaan persepsi tentang ini (proses pengujian UU red.), jelas Jimly.
Dalam sambutannya, Jimly menyatakan sangat mendukung kegiatan Halaqah dan temu wicara ini. Kegiatan pengkajian konstitusi sekarang ini sesuatu yang niscaya. Sehingga menurut saya, tugas kami pun di MK, tidak boleh terpaku pada apa yang tertulis saja, ungkapnya.
Sebelum menutup pidatonya, Jimly menegaskan bahwa konstitusi itu bukan hanya untuk rakyat, tapi konstitusi itu memang sebenarnyalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konstitusi itu hanyalah konkretisasi abstraksi dari nilai-nilai luhur yang tercermin dalam collective mind masyarakat Indonesia. Konstitusi dirumuskan oleh para pemimpin dan para wakil rakyat menjadi teks konstitusi, menjadi norma hukum yang mengikat. Dan yang merumuskannya pun rakyat sendiri. Dan pada akhirnya, maksud perumusannya adalah tidak lain untuk kepentingan rakyat, demikian kata Jimly. (Wiwik Budi Wasito)