Muhammad Hafidz dan Solihin yang tercatat sebagai Mahasiswa Universitas Ibnu Chaldun menarik kembali permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Penarikan permohonan tersebut disampaikan pada sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan Nomor 127/PUU-XIII/2015 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (5/11), di Ruang Sidang Pleno MK.
Penarikan permohonan didasari dengan telah diaktifkannya kembali kampus tempat kedua Pemohon berkuliah, Universitas Ibnu Chaldun. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi telah mengaktifkan kembali Universitas Ibnu Chaldun pada 15 Oktober 2015 lalu. Untuk itu, Pemohon menilai tidak lagi memiliki kedudukan hukum.
“Para Pemohon menyatakan menarik kembali permohonan a quo yang telah didaftarkan pada 13 Oktober 2015 lalu. Mengingat tempat para Pemohon menuntut ilmu yakni Universitas Ibnu Chaldun Jakarta telah diyatakan aktif kembali oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada 15 Oktober 2015, sehingga para Pemohon menganggap telah tidak ada lagi memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk melanjutkan permohonan dimaksud,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 92 ayat (1) UU Dikti yang mengatur sanksi administratif bagi pergutuan tinggi. Secara lengkap, ketentuan tersebut menyatakan, Perguruan Tinggi yang melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), atau ayat (7), Pasal 33 ayat (6), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (1), Pasal 41 ayat (1), Pasal 46 ayat (2), Pasal 60 ayat (5), Pasal 73 ayat (3) atau ayat (5), Pasal 74 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 78 ayat (2), atau Pasal 90 ayat (5) dikenai sanksi administratif.
Pemohon merasa ketentuan pada Pasal 92 ayat (1) UU Dikti menimbulkan keresahan bagi mahasiswa, terutama Pemohon. Hal ini karena universitas tempat para Pemohon menuntut ilmu merupakan salah satu dari 221 perguruan tinggi yang dinyatakan non-aktif akibat telah melakukan pelanggaran administratif. Menurut Pemohon, Penonaktifan ke 221 perguruan tinggi ini merupakan akibat dari penerapan pasal yang diujikan. Lebih lanjut, Pemohon merasa dirugikan sebab sanksi administratif yang dijatuhkan oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi atau Pemerintah, bukanlah akibat dari penyimpangan yang dilakukan oleh peserta didik. Namun dampaknya justru dialami oleh Mahasiswa, termasuk para Pemohon, di antaranya terganggunya proses belajar, hingga tidak dapat dilangsungkannya wisuda sebagai tahap akhir dari penyelenggaraan pendidikan tinggi. (Lulu Anjarsari/IR)