Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan para Pemohon perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tidak memiliki legal standing. Permohonan ini diajukan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) selaku Pemohon berbadan hukum privat dan enam orang Pemohon yang merupakan perseorangan warga negara Indonesia. Dalam putusannya, Mahkamah menganggap para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusial akibat berlakunya Pasal 37 ayat (1) UU Sisdiknas.
Ketua MK, Arief Hidayat yang memimpin langsung sidang pengucapan putusan perkara No. 28/PUU-XIII/2015 tersebut menyatakan meski Mahkamah berwenang mengadili perkara yang diajukan para Pemohon, namun Mahkamah menilai para Pemohon tidak memiliki legal standing. Oleh karena itu, Mahkamah tidak lagi mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon.
“Konklusi. Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan,” ujar Arief pada persidangan pengucapan putusan yang digelar, Rabu (4/11) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebelumnya, Pemohon meminta Mahkamah untuk memasukkan materi kesehatan produksi ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah melalui UU Sisdiknas sebagai payung hukumnya. Materi tersebut menurut Pemohon tidak masuk dalam Pasal 37 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan kurikulum Dikdasmen wajib memuat salah satunya yaitu pendidikan jasmani dan olahraga. Pemohon meminta Mahkamah untuk menafsirkan pasal a quo sebagai pasal yang mewajibkan kurikulum Dikdasmen memasukkan materi kesehatan reproduksi sebagai salah satu jenis pendidikan jasmani dan kesehatan. Artinya, frasa “pendidikan jasmani dan olahraga” dalam pasal a quo diminta oleh Pemohon untuk juga dimaknai atau merujuk kepada kesehatan reproduksi.
Bila pasal a quo tidak diartikan sebagaimana yang Pemohon inginkan, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon mendalilkan Pasal 37 ayat (1) huruf h dianggap telah mengesampingkan hak anak untuk tumbuh dan berkembang serta berhak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Namun, Mahkamah menilai ada atau tidak adanya materi kesehatan reproduksi dicantumkan dalam kurikulum nasional, tidak otomatis membuat kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon hilang. Dalam putusannya Mahkamah menyatakan seandainya pun pendidikan kesehatan reproduksi dicantumkan dalam kurikulum nasional sebagaimana permohonan para Pemohon, tidak berarti kerugian konstitusional sebagaimana didalilkan para Pemohon a quo tidak akan atau tidak lagi terjadi. (Yusti Nurul Agustin/IR)