Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang diajukan oleh pengurus Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI), Rabu (4/11). “Amar putusan, mengadili, menyatakan mengabulkan permohanan para Pemohon,” ucap Ketua MK Arief Hidayat pada sidang putusan perkara 7/PUU-XII/2014, di Ruang Sidang Pleno MK.
Para Pemohon mempermasalahkan frasa “demi hukum” pada Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Menurut Pemohon, pembentuk undang-undang hanya mengatur tata cara penyelesaian penyimpangan norma, tetapi tidak mengatur mengenai tata cara pelaksanaan (eksekusi) penetapan tertulis dari pegawai pengawas ketenagakerjaan. Untuk itu, seharusnya pelaksanaan penetapan tertulis tersebut dapat dimintakan pelaksanaannya ke Pengadilan Negeri melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan menyatakan,
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Pasal 65 ayat (8) UU Ketenagakerjaan menyatakan,
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menyatakan,
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Menurut Mahkamah, dalam rangka pelaksanaan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan hukum ketenagakerjaan, pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat mengeluarkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis. Meskipun sama-sama dikeluarkan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan, antara nota pemeriksaan dengan penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan memiliki perbedaan yang signifikan. Nota pemeriksaan berisi hal-hal yang menyangkut hasil pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan, bersifat anjuran dan tidak memiliki sifat eksekutorial. Sedangkan penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan merupakan Keputusan Tata usaha Negara yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum.
“Oleh karenanya, penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan tersebut haruslah dianggap benar sebelum dibuktikan sebaliknya dan dibatalkan,” urai Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan Mahkamah.
Mahkamah melanjutkan, terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan banyak perusahaan pemberi kerja tidak mau melaksanakan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan, Mahkamah menilai hal tersebut merupakan permasalahan implementasi norma. Namun, yang menjadi sorotan Mahkamah kemudian adalah dasar kewenangan yang dimiliki pegawai pengawas ketenagakerjaan untuk mengawasi pelaksanaan Pasal 59, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Ketentuan dimaksud, antara lain mengatur mengenai perubahan status, yaitu dari perjanjian kerja untuk waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Setelah melakukan penilaian, Mahkamah berpandangan bahwa pegawai pengawas ketenagakerjaan berwenang untuk mengawasi pelaksanaan Pasal 59, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Selain itu, pegawai pengawas ketenagakerjaan juga berwenang menentukan terpenuhi atau tidak terpenuhinya persyaratan dalam pasal-pasal tersebut. Oleh karena itu, pegawai pengawas ketenagakerjaan berwenang pula mengeluarkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, demi menegakkan pelaksanaan ketentuan ketenagakerjaan dan memberikan perlindungan serta kepastian hukum bagi pekerja/buruh, maka menurut Mahkamah pekerja/buruh dapat meminta pelaksanaan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan dimaksud kepada Pengadilan Tinggi setempat. “Dengan mendasarkan pada pertimbangan tersebut, maka frasa ‘demi hukum’ dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 inkosntitusional bersyarat,” ujar Suhartoyo.
Adapun inkonstitusional bersyarat tersebut memiliki arti, bahwa Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan inkonstitusonal sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
- 1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
- Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”;
Tidak Ne bis in idem
Dalam putusan tersebut, Mahkamah juga menegaskan bahwa permohonan para Pemohon tidak ne bis in idem. Meskipun norma yang diuji Pemohon pernah diujikan dan telah diputus pula oleh Mahkamah, namun alasan konstitusional yang menjadi dasar pengujian tidaklah sama. Pemohon dalam Putusan nomor 96/PUU-XI/2013 mendasarkan pada tidak adanya penafsiran hukum yang pasti oleh pembentuk undang-undang terhadap norma a quo dan tidak adanya aturan mengenai lembaga yang berwenang menyatakan terpenuhi atau tidak terpenuhinya syarat-syarat dalam perjanjian waktu tertentu.
“Sedangkan perkara Nomor 7/PUU-XII/2014 lebih mendasarkan pada upaya hukum yang dapat dilakukan setelah terbitnya nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan yang tidak dilaksanakan oleh pemberi kerja dan/atau perusahaan pemberi kerja, … Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, permohonan a quo tidak ne bis in idem sehingga Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo,” jelas Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan pertimbangan Mahkamah. (Panji Erawan/IR)