Penarikan kembali permohonan Pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Menetapkan, menyatakan mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon Nomor 116/PUU-XIII/2015 perihal pengujian Pasal 82 dan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian Pasal 82 dan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,” ucap Ketua MK Arief Hidayat membacakan ketetapan No. 116/PUU-XIII/2015 didampingi Hakim Konstitusi lainnya, Rabu (4/11) siang, di Ruang Sidang Pleno MK.
MK telah menerima permohonan bertanggal 26 Agustus 2015 dari Edwin Hartana Hutabarat pada 7 September 2015 dengan No. 116/PUU-XIII/2015 perihal pengujian Pasal 82 dan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Terhadap permohonan tersebut, MK telah menerbitkan Ketetapan Ketua MK No. 246/TAP.MK/2015 tentang Pembentukan Panel Hakim untuk memeriksa permohonan No. 116/PUU-XIII/2015 bertanggal 17 September 2015.
Kemudian, Kepaniteraan MK telah memanggil Pemohon untuk hadir dalam sidang panel pemeriksaan perbaikan permohonan pada Selasa, 20 Oktober 2015. Namun, Pemohon menyampaikan surat kepada MK bertanggal 19 Oktober 2015 yang pada pokoknya menyatakan Pemohon tidak melanjutkan atau menarik permohonan pengujian Undang-Undang.
Selanjutnya, Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim pada Selasa, 20 Oktober 2015 menetapkan bahwa penarikan kembali permohonan No. 116/PUU-XIII/2015 beralasan menurut hukum. Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, Pemohon dapat menarik kembali permohonannya sebelum atau selama pemeriksaan MK dilakukan. Penarikan kembali tersebut mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali.
Sebagaimana diketahui, gugatan tersebut diajukan oleh Edwin Hartana Hutabarat, penyandang tunawicara dan tunarungu yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan percetakan pada 12 September 2014. Pemohon merasa kecewa dengan jumlah pesangon yang diterima dari Percetakan Abidin. Sebagai upaya untuk menyatakan ketidakpuasan atas putusan PHK tersebut, Pemohon telah mengajukan surat kepada Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan demi mendapatkan keadilan. Proses perundingan yang dilakukan Pemohon dan perusahaan dengan mediasi oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Kota Medan menghasilkan anjuran yang oleh Pemohon dianggap semakin merugikan dirinya. Pemohon kembali mengadukan nasibnya kepada Dinsosnaker Kota Medan pada Desember 2014, namun tak kunjung mendapatkan tanggapan.
Lebih jauh lagi, Pemohon menerangkan bahwa sisa waktu yang ada saat ini tidak memungkinkan Pemohon untuk membawa permasalahannya ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Menurut Pemohon, Pasal 82 UU PPHI amat menguntungkan dan membebaskan pimpinan perusahaan dari kewajibannya kepada Pemohon terkait dengan uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak, kekurangan upah, THR dan ganti rugi lainnya yang merupakan hak konstitusional Pemohon.
Dengan mengajukan gugatan ini Pemohon berharap agar MK menyatakan Pasal 82 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945, UU No. 4 Tahun 1997 Penyandang Cacat, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, UU No. 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-X/2012 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nano Tresna Arfana/IR)