Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) - Perkara No.111/PUU-XIII/2015 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda mendengar keterangan saksi Pemohon, pada Rabu (4/11). Hadir dalam persidangan, Pembina Serikat Pekerja di Perusahaan Listrik Negara (PLN), Ahmad Daryoko selaku Saksi yang dihadirkan Pemohon.
Ahmad Daryoko kemudian menuturkan pengalamannya ketika bekerja di PLN saat perubahan dari Perum ke Persero. “Ketika itu memang ada kebijakan dari manajemen dan direksi yang saat itu memindah-mindahkan karyawan PLN pusat secara kolosal, secara besar-besaran ke unit-unit,” ungkap Daryoko kepada Majelis Hakim Sidang Pleno yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Daryoko melanjutkan, biasanya pemindahan karyawan dilakukan melalui mekanisme analisa kepegawaian, yaitu sesuai kebutuhan pegawaian. “Tetapi ini tidak. Justru yang bersangkutan, karyawan itu ditanya, ‘Kamu ingin pidah kemana? Ayo aku turutin, aku pindah.’ Hal itu besar sekali jumlahnya sampai 50%. Jadi karyawan PLN pusat yang saat itu sekitar 4.000 orang, sekarang hanya 1.500 orang,” ujar Daryoko di Ruang Sidang Pleno MK.
“Direksi waktu itu memberikan pengarahan bahwa organisasi ini harus flat. Karena itu organisasi PLN pusat itu harus sekecil mungkin. Yang diperbanyak justru di unit-unit, jadi konsep desentralisasi waktu itu yang didengungkan,” tambah Daryoko.
Selanjutnya, kata Daryoko, pada tahun 2000 sudah mulai diadakan peralihan. Semacam karakter bahwa PLN dikatakan bukan sebagai unit bisnis, tapi unit operasional seperti misalnya Jakarta dan Tangerang. “Kemudian di luar Jawa, misalnya ada PLN Sumatera Selatan, itu wilayah Sumatera Selatan,” imbuh Daryoko.
Di samping itu, menurut Daryoko, ada peralihan status yang memposisikan karyawan sebagai pegawai outsourcing. “Meskipun sehari-hari mereka bekerja di tempatnya sebagai karyawan PLN, tetapi secara yuridis sebenarnya dia sudah diserahkan kepada sebuah perusahaan, apakah itu anak perusahaan, apakah itu swasta. Jadi mereka posisinya sudah seperti outsourcing,” jelas Daryoko.
“Direksi membuat kebijakan bahwa untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu itu di-outsourcing-kan. Menurut pengalaman kami di luar negeri, suatu negara yang perusahaan listriknya akan diprivatisasi, mereka menggunakan sistem outsourcing dan menurut mereka teman-teman di luar negeri ini, mengapa dibikin sistem outsourcing? Yaitu dengan tujuan untuk memudahkan pada saat nanti terjadi proses privatisasi yang mestinya perusahaan itu berhadapan langsung dengan satu-satu, dengan para karyawan tetap. Tetapi dengan sistem outsourcing, maka untuk mengurangi karyawan sangat mudah,” papar Daryoko.
Dengan demikian, lanjut Daryoko, di PLN terdapat outsourcing yang bertugas mencatat meteran listrik. Kemudian ada pelayanan teknik dan berbagai macam pekerjaan outsourcing yang dulunya pekerjaan-pekerjaan itu dikerjakan oleh pegawai tetap.
Seperti diketahui, Pemohon adalah Adri dan Eko Sumantri, masing-masing menjabat sebagai Ketua Umum dan Sekjen DPP Serikat Pekerja PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN). Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 10 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan telah mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh korporasi swasta nasional, multinasional dan perorangan. Bahkan, ketentuan tersebut dapat mengakibatkan negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik.
Menurut Pemohon, materi muatan pasal-pasal yang diuji memuat mengenai pengelolaan usaha tenaga listrik secara terpisah (unbundling) dengan menerapkan prinsip usaha yang sehat untuk memupuk keuntungan usaha, perlakuan tarif tenaga listrik yang berbeda setiap wilayah usaha, dan membuka selebar-lebarnya peran serta korporasi swasta nasional, multinasional, maupun perorangan untuk mengelola dan mengusai tenaga listrik. Para Pemohon juga menganggap bahwa ketentuan dalam pasal-pasal yang diujikan merupakan pengulangan dari Pasal 8 ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), serta Pasal 68 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK dalam Putusan Perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003.
Selanjutnya, Para Pemohon mempermasalahkan frasa ‘prinsip usaha yang sehat’ dalam Pasal 33 ayat (1) dan frasa ‘secara berbeda’ dalam Pasal 34 ayat (5) UU Ketenagalistrikan. Menurut para Pemohon, frasa tersebut mencerminkan adanya semangat bahwa dalam hal harga jual tenaga listrik maupun tarif tenaga listrik untuk konsumen, maka pemerintah dan pemerintah daerah memerhatikan kesepakatan di antara badan usaha. Berdasarkan hal itu, kemudian Pemohon beranggapan adanya variabel yang memengaruhi harga jual tenaga listrik, yakni nilai keuntungan bagi badan usaha. Hal ini yang menurut para Pemohon berpotensi mengakibatkan adanya kartelisasi, sehingga tarif tenaga listrik menjadi mahal. (Nano Tresna Arfana/IR)