Hukum di Indonesia mutlak tidak jalan. Kenapa tidak jalan? Karena tidak ada yang dilaksanakan. Kedaulatan hukum tidak tegak di Indonesia. Kalau toh ada tindakan hukum diambil terhadap seseorang, itu karena tebang pilih.
Pernyataan ini disampaikan oleh mantan Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, pada acara Halaqah Kebangsaan dan Temu Wicara Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta, Jumat 6 April 2007.
Gus Dur mencontohkan tindakan tebang pilih yang dilakukan para penegak hukum saat ini adalah terhadap para pelaku korupsi dari kelompok Megawati Soekarnoputri. Yang lain dibiarkan saja enak-enakan. Yang lain itu adalah pelaksana hukum di negeri kita. Pelaksana hukum itu adalah Mahkamah Agung (MA), ke bawah, pengadilan-pengadilan dan sebagainya. Hukum sama sekali tidak terlaksana. Hukum bisa diperjualbelikan, ungkap Gus Dur.
Contoh lain, Gus Dur mengatakan untuk membuat KTP saja harus bayar Rp. 50.000,00. Hal ini dianggap bertentangan dengan undang-undang. Undang-undang tidak jalan. Dan banyak undang-undang bertentangan dengan UUD. Kalo pak Jimly kerjanya repot sekali dengan begitu banyak orang-orang yang mengadukan perkara, saya sendiri juga repot ngitungi, dengan staf saya, berapa banyak peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD. Ternyata ada 3159. kalau tiap tahun selesai 100 yang kita benahi, total itu membutuhkan waktu 30 tahun. Coba bayangkan. Bagaimana pemerintahan itu nanti ruwetnya tidak karu-karuan, kerjanya menteri kehakiman dan perundang-undangan justru harus memperbaiki itu semua, lanjutnya.
Selain itu, Gus Dur mengatakan bahwa kesulitan bangsa Indonesia saat ini adalah UUD sebagai instrumen dasar dari negara, tidak diterima dan tidak ditolak. Lha ini celaka. Jadi UUD kita ini melayang-layang, mengambang. Saya perhatikan betul pidato presiden SBY, belum pernah menyatakan menerima UUD ini (hasil perubahan red.), kata cucu pendiri Nahdlatul Ulama ini.
Senada dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Gus Dur menyambut gembira adanya halaqah dan temu wicara ini. Mudah-mudahan hasilnya baik sebagai bahan untuk renungan kita ke depan. Memperbaiki konstitusi itu tidak gampang. Itu proses yang mestinya panjang. Karena itu pak Jimly, saya terus terang saja menyesalkan MPR. Kenapa UUD diamandemen tanpa melibatkan masyarakat. Di mana-mana masyarakat itu harusnya dilibatkan, jelas Gus Dur.
Sebelum mengakhiri pidatonya sekaligus membuka halaqah dan temu wicara ini, Gus Dur mengatakan bahwa krisis dari segala krisis yang terjadi di tanah air, menurutnya berakar dari krisis politik, bukan krisis hukum. Krisis hukum disebabkan karena adanya krisis politik, yaitu dibuatnya peraturan-peraturan yang melanggar UUD. Ditambah, akibat tidak tegaknya peraturan, korupsi semakin tak terbendung. Padahal, inti dari pemberantasan korupsi adalah dengan melaksanakan peraturan, tambahnya.
Terhadap pernyataan Gus Dur tentang banyaknya peraturan perundang-undangan yang melanggar konstitusi, di hadapan para wartawan Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengatakan bahwa beragam peraturan di bawah UU, yang menguji adalah MA. MK hanya menguji UU saja.
Sikap kritis Gus Dur itu sebagian besar adalah ditujukan kepada MA. Ada benarnya bahwa ada problem besar di dalam penegakan hukum kita. Oleh karena itu, kita harus menegakkan hukum mulai dari yang paling tinggi yaitu UUD. Nah itulah yang menjadi tugas MK. MK mengawal konstitusi dengan maksud untuk menjaga supaya UUD sebagai hukum yang paling tinggi, itu ditegakkan. Jadi kalau hukum yang paling tinggi tidak tegak, bagaimana kita berharap peraturan yang lebih rendah dari UUD, jelas Jimly.
Tambah Jimly, sebagai juris, sebagai warganegara, dan sebagai penyelenggara negara, dirinya menyarankan kepada semua pihak supaya memegang teguh UUD yang sekarang. Kalau misalnya ada usul mau menambah, mengurangi, bahkan mengubah lagi, itu boleh saja sebagai usul yang tidak mengikat. Usul-usul yang bersifat politik. Kalau itu nanti diperjuangkan di forum MPR lalu mendapat kesepakatan, maka tentu UUD akan mengalami perubahan. MK siap aja. Kita setuju-setuju aja. Mau diubah lagi, silahkan. Asal mendapatkan kesepakatan di forum MPR. Tugas MK mengawal yang sudah disepakati itu. Yang penting juga untuk dipertimbangkan adalah keterlibatan rakyat dalam proses perubahan itu, paparnya.
Berbeda dengan Gus Dur, kalau 100 persen tidak ada penegakan hukum, menurut Jimly hal itu tidak tepat. Tetapi bahwa penegakan hukum sekarang bermasalah, dirinya setuju dengan hal itu. Sedangkan terhadap sinyalir dari Gus Dur tentang tebang pilih dalam penegakan hukum, Jimly mengandaikan kalau ada 1000 kasus, sementara tenaga penegak hukum cuma bisa mengerjakan seratus selama setahun, berarti memang harus tebang pilih.
Masalahnya bukan pada ada tidaknya tebang pilih, tapi cara memilihnya bagaimana. Itu yang menjadi soal. Memilihnya mulai dari yang mana. Jangan memilih dari yang mudah-mudah saja. Tapi justru yang strategis. Bagaimana cara memilihnya dan apa kriterianya, ya itu yang harus disesuaikan dengan keinginan publik. Yang tidak betul adalah bila memilihnya sesuai selera kekuasaan. Memilihnya jangan karena selera, tetapi karena obyektifitas, misalnya yang tingkat kerugiannya paling tinggi, demikian ungkap Jimly. (Wiwik Budi Wasito)