Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak untuk seluruhnya permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) yang diajukan oleh lima orang guru tidak tetap, Sanusi Afandi, dkk. Menurut Mahkamah, meskipun para Pemohon memiliki kedudukan hukm (legal standing), namun pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Arief Hidayat membaca amar putusan nomor 10/PUU-XIII/2015 dengan didampingi Hakim Konstitusi lainnya, Rabu (4/11).
Dalam pokok permohonan, para Pemohon mempermasalahkan konstitusionalitas Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Guru dan Dosen. Dalilnya, pengertian guru yang terdapat dalam UU Guru dan Dosen hanya mencakup pengertian guru yang telah berstatus sebagai guru tetap. Para Pemohon yang bukan guru tetap menjadi tidak berhak menikmati fasilitas dan/atau keuntungan-keuntungan sebagaimana termuat dalam pasal-pasal yang diujikan. Untuk itu, para Pemohon meminta kepada Mahkamah agar pengertian guru dalam UU Guru dan Dosen juga diartikan termasuk guru tidak tetap.
Memberikan pertimbangan hukum, Mahkamah menyampaikan bahwa guru adalah bagian integral dari sistem pendidikan serta merupakan bagian integral dari upaya mewujudkan amanat “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Selain itu, guru sebagai bagian dari pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan. Dengan demikian, maka guru harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Mahkamah menjelaskan, bukti pengakuan terhadap guru sebagai tenaga professional adalah adanya sertifikat pendidik. Setiap guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya diberikan sejumlah hak sebagaimana diatur dalam UU Gruru dan Dosen. Namun, hak-hak tersebut baru dapat dinikmati oleh guru yang memiliki kualifikasi akademik, memiliki kompetensi, memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
“Bahwa telah terang bagi Mahkamah, tidak setiap guru serta-merta dapat menikmati fasilitas dan/atau keuntungan sebagaimana diatur dalam UU 14/2005 sebagaimana dikehendaki dan didalilkan para Pemohon,” papar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan Mahkamah, di Ruang Sidang Pleno MK.
Ketika pengertian guru dalam UU Guru dan Dosen diartikan juga termasuk guru tidak tetap, maka menurut Mahkamah hal itu akan menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, segala kulaifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi, dan persyaratan lainnya menjadi tidak ada gunanya. Padahal, persyaratan tersebut sangat dibutuhkan karena berkait langsung dengan pencapaian tujuan pendidikan nasional. “Pengaturan yang berbeda antara guru-guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi, dan persyaratan lainnya, sebagaimana diatur dalam UU 14/2005, dengan guru-guru lain yang belum memenuhi persyaratan dimaksud, justru memberi pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, bukan sebaliknya,” terang Palguna.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka Mahkamah menilai permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Namun, Mahkamah juga menilai bahwa Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah sehingga para guru tidak tetap dapat hidup dengan standar kehidupan yang layak. “Memperhatikan dengan saksama fakta-fakta yang terungkap selama berlangsungnya persidangan, menunjukkan betapa memprihatinkannya nasib dan keadaan guru-guru yang termasuk dalam kualifikasi seperti halnya para Pemohon, maka sangatlah penting bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah segera dan memadai sehingga para guru dimaksud setidak-tidaknya dapat hidup dengan standar kehidupan yang layak,” tandas Palguna. (Triya IR)