JAKARTA – DPR menilai, Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 4/105 tentang Penyelesaian Perselisihan Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah tepat. PMK tersebut tidak akan membuat lembaga pemantau pilkada palsu menjamur.
Hal tersebut disampaikan anggota Komisi II DPR, Rufinus Hutahuruk dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) kepada SH di Jakarta, Rabu (28/10). PMK Nomor 4/105 mengatur, lembaga pemantau pilkada memiliki legal standing untuk mengajukan sengketa pilkada, khususnya di daerah yang memiliki pasangan calon tunggal.
PMK tersebut menjadi acuan bagi penyelenggara pilkada, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Daerah (KPUD), maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) untuk memverifikasi status bahan hukum pemantau pilkada.
“Apanya yang palsu? Orang semua bisa diverifikasi. Kalaupun ada yang palsu, itu bisa diverifikasi kembali,” ujar Rufinus.
Menurutnya, banyak anggota masyarakat yang kurang percaya terhadap kinerja Bawaslu ataupun Panwaslu. Karena itu, PMK ini menunjukkan demokrasi Indonesia lebih maju.
“Itulah bentuk demokrasi yang benar karena banyak institusi, seperti KPU, Bawaslu, pemerintah, serta peserta dan undang-undangnya sendiri yang kurang dipercaya,” ucapnya.
Selain itu, keterlibatan lembaga pemantau dapat mengurangi anggaran pilkada. Negara tidak perlu mengeluarkan anggaran tersendiri dan KPU tidak harus melakukan persiapan khusus.
Anggota Komisi II DPR, Amirul Tamin dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengatakan, perintah dari PMK bersifat final dan mengikat. “Atas dasar PMK ini, KPU harus professional. Masyarakat ikut mengawasi, termasuk partai politik (parpol), dalam verifikasi pemantau pilkada. Nanti verifikasi ini untuk menghindari lembaga yang palsu,” tuturnya.
Ia berharap semua elemen tidak terjebak ke dasar hukum keterlibatan pemantau. Sebaliknya, semua orang harus membangun optimisme akan pilkada yang lebih baik.
“Jadi, yang dibangun jangan curiga saja sehingga walaupun sudah kerja bagus, tetap dasarnya curiga terus, ya tetap juga dianggap curang,” katanya.
Girindra Sandino dari Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) mengungkapkan, PMK tidak perlu disikapi dengan partisan dan paranoid. Alasannya, lembaga pemantau yang dapat mengajukan gugatan ke MK hanya yang berbadan hukum, bukan milik asing.
“Kekhawatiran ada pemantau dadakan, penumpang gelap partisan, dan lain sebagainya bisa diatasi dengan mengatur lebih lanjut regulasi teknis, seperti peraturan KPU,” ujarnya.
Banyak Masalah
Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mengatakan, masih banyak tantangan dan masalah teknis yang dihadapi KPU dalam persiapan pelaksanaan Pilkada 9 Desember 2015. Masalah itu, di antaranya administrasi di penyelenggara pilkada.
KPU mencatat, ada 12 kemungkinan permasalahan yang muncul dalam pilkada serentak, mulai penyerahan surat dukungan hingga tahapan penetapan pasangan calon. “Seperti temuan dokumen palsu, dualisme kepengurusan parpol, status kesehatan, hingga status tersangka dari pasangan calon. Hal tersebut harus segera diatasi KPU agar tidak menimbulkan potensi konflik yang lebih besar ke depan," tutur Fadli Zon.
Fadli Zon bahkan menyebutkan, Bawaslu sudah menerima sekitar 100 sengketa pasangan calon.
Hal lain adalah polemik calon tunggal seiring putusan MK yang memperbolehkannya mengikuti Pilkada Serentak 2015. “Putusan MK juga membuka peluang untuk ditempuhnya jalur referendum bagi daerah yang memiliki calon tunggal. Apabila pilihan setuju lebih banyak, pasangan calon ditetapkan menjadi kepala daerah. Jika tidak setuju memperoleh suara terbanyak, pilkada akan ditunda sampai pemilihan berikutnya. Dengan desain seperti ini, apakah efisien?” katanya.
Ketua Komisi I DPD, Akhmad Muqowam mengemukakan, secara umum, skema pilkada tidak menjanjikan demokrasi substansial yang terkonsolidasi. Formatnya belum menjamin pemerintahan yang efektif, efisien, dan bebas korupsi.
“Orientasi dan arah kompetisi masih berputar di sekitar upaya meraih popularitas dan elektabilitas. Hampir tidak ada kesempatan bagi publik memilih kandidat berdasarkan kapabilitas para calon. Parahnya lagi, penetapan calon dan mekanisme calon secara oligarkis oleh ketua umum ataupun pemimpin parpol," ucapnya.
Mundur
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di DPR, Olly Dondokambey, resmi mengundurkan diri sebagai anggota DPR. Pengunduran diri tersebut karena yang bersangkutan ikut dalam pilkada Sulawesi Utara (Sulut).
Menurut Bendahara Umum DPP PDIP itu, ia maju dalam pemilihan kepala daerah atas permintaan masyarakat Sulut. “Memang saya tadinya terjun di politik (DPR-red) sudah 11 tahun dan saya kembali ke daerah karena memang banyak sekali masyarakat di daerah meminta saya memimpin Sulut,” kata Olly, kemarin.
Ia merasa tuganya sebagai anggota DPR sudah cukup selama 11 tahun. Sudah saatnya ia kembali ke daerah. (*)
Sumber: http://www.sinarharapan.co/news/read/151029441/curiga-lembaga-pemantau-pilkada-menjamur-tak-beralasan