Grasi merupakan hak konstitusional Presiden yang diatur langsung dalam konstitusi, dan dapat digunakan demi kepentingan kemanusiaan. Konstitusi pun tidak memberikan batasan apa pun terhadap pemberian Grasi. Oleh karena itu, pembatasan waktu terhadap permohonan grasi adalah tidak tepat dan menghilangkan rasa keadilan. Hal tersebut disampaikan oleh para ahli hukum yang dihadirkan oleh Suud Rusli selaku Pemohon dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi), Senin (2/11) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Pakar hukum tata negara Andi Muhammad Asrun selaku ahli yang dihadirkan Pemohon menyampaikan, pemberian grasi merupakan wujud keadilan dalam hal kemanusiaan. Menurut Asrun, pada praktiknya kerap kali suatu undang-undang yang menjerat terpidana dirasa kurang adil. Selain undang-undang, putusan pengadilan juga bisa saja keliru. Oleh karena itu, untuk memenuhi rasa keadilan, grasi dapat menjadi sarana koreksi untuk sistem peradilan.
“Kesalahan mungkin saja terjadi dan di situlah manfaat grasi. Grasi diadakan untuk menggenapi keadilan tapi tidak bersifat menghapus kesalahan terpidana. Grasi diberikan dengan pertimbangan mungkin terjadi kesalahan dalam penghukuman, seperti jangka waktu penghukuman terlalu lama atau hukuman tidak setimpal dengan derajat kesalahan yang telah dibuktikan dalam peradilan,” ujar Asrun di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK, Arief Hidayat.
Dilihat dari asal pemberi grasi, Asrun menjelasakan bahwa grasi merupakan hak yang dimiliki Presiden dalam ranah yudikatif dan dijamin langsung oleh Konstitusi. Meski menjadi hak Presiden, kerap kali terpidana tidak dapat mengajukan permohonan grasi karena terjegal aturan permohonan grasi dalam UU Grasi.
Mengutip Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, Asrun mengatakan pemberian grasi tidak diberi batasan apa pun. Di dalam pasal tersebut hanya dikatakan Presiden dapat memberikan grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan-pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA). Oleh karena itu, bila ada pembatasan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (2) UU Grasi, maka pasal tersebut menurut Asrun bertentangan dengan UUD 1945.
“Dengan pembatasan waktu itu artinya telah hilang sebuah keadilan, di mana keadilan adalah sebuah elemen dari suatu negara hukum. Bila ada benturan antara kepastian hukum yang normatif dan keadilan, maka Hakim seharusnya mengutamakan keadilan dengan mengenyampingkan kepastian hukum. Pemberian grasi, sesungguhnya juga bermuara pada hak asasi manusia, warga negara dari perlakuan semena-mena dari proses peradilan, yang diperlihatkan pada hukuman yang tidak memenuhi unsur keadilan, kemudian juga putusan Hakim yang tidak adil dapat bersumber dari tekanan kekuasan di luar kekuasaan kehakiman, seperti tekanan politik pemerintah atau tekanan sebagainya masyarakat, Yang Mulia,” papar Asrun lagi.
Sementara itu, pakar hukum pidana Firman Wijaya juga dihadirkan Pemohon dalam sidang perkara No. 107/PUU-XIII/2015 ini. Dalam keterangan ahlinya, Firman menyampaikan grasi sebenarnya dapat diberikan tanpa atau dengan alasan tertentu. Sebab, grasi merupakan hak Presiden. Presiden dapat memberikan grasi dengan melihat aspek sosiologis masyarakat maupun individu terpidana tersebut.
Dengan kata lain, menurut Firman, pemberian grasi merupakan hak konstitusional Presiden untuk memberikan pengampunan. Grasi tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim dan tidak menghilangkan kesalahan terpidana. (Yusti Nurul Agustin/IR)