Asas peradilan cepat yang dinormakan dengan kata “segera”, sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah menimbulkan banyak interpretasi/ multitafsir. Demikian disampaikan pakar hukum pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno selaku ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang uji materiil KUHAP dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada Rabu (28/10), di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Minarno menjelaskan, KUHAP merupakan contoh undang-undang yang telah sering diujikan karena dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum saat ini, khususnya terkait perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa dari penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum. Selain itu, konsep dan norma yang ada di dalam KUHAP dirumuskan secara kabur atau tidak jelas. Akibatnya, muncul ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak adil ketika norma dalam KUHAP diwujudkan dalam kejadian-kejadian yang kompleks. “Kegagalan mewujudkan kepastian hukum dan perlakuan yang tidak adil, maka negara dianggap gagal dalam memberikan perlindungan kepada warganya,” ucap Minarno di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Minarno melanjutkan, KUHAP sebagai hukum pidana formal seharusnya dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum. Oleh karena itu, jika terdapat norma KUHAP yang tidak berkepastian hukum dan tidak adil, maka ketentuan dimaksud haruslah dinyatakan inkonstitusional.
Minarno kemudian menyebutkan beberapa perumusan norma yang kabur, rancu, dan keliru dalam KUHAP jika dihubungkan dengan beberapa asas fundamental dalam hukum acara pidana. Salah satu perumusan norma yang keliru dimaksud, yaitu asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Minarno berpandangan, asas peradilan cepat dalam KUHAP yang dinormakan dengan kata “segera” mempunyai konotasi waktu,sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi. Hal tersebut menurut Minarno terdapat dalam Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 143 ayat (1) KUHAP. “Asas peradilan cepat yang dinormakan dengan kata segera banyak menimbulkan interpretasi atau multiinterpretasi,” kata Minarno.
Minarno menilai, asas peradilan cepat seharusnya dikaitkan dengan asas-asas pembuktian yang meliputi alat bukti, perolehan alat bukti dan sistem pembuktian. “Jika telah terpenuhi alat bukti, perolehan alat bukti yang sah dan benar sistem pembuktiannya, maka layaklah perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan untuk segera disidangkan. Dalam praktik penegakan hukum, kata segera ini dimaknai asal-asalan, yang terpenting perkara tersebut segera dilimpahkan pengadilan dan pengadilan yang akan memberikan putusan,” ungkap Minarno yang juga mengatakan kata “segera” di dalam KUHAP seringkali dipakai sebagai alat atau sarana untuk menggugurkan permohonan praperadilan, seperti yang dialami Pemohon.
Gugurnya Praperadilan
Pada kesempatan itu, Minarno juga menegaskan bahwa praperadilan dalam KUHAP ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum. Akan tetapi, kata Minarno, ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP justru telah menghilangkan roh praperadilan sebagai bentuk perlindungan hukum bagi mereka yang menjadi korban tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum.
Pasal 82 ayat (1) huruf d menyatakan, (1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: ... (d) dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.
Menurutnya, apabila gugurnya praperadilan ditujukan untuk mempercepat pemeriksaan pokok perkara, maka hal tersebut tidak relevan dan tidak berdasar. Sebab, jangka waktu pemeriksaan perkara praperadilan hanya tujuh hari dan putusannya langsung berkekuatan hukum tetap meskipun dimungkinkan upaya hukum peninjauan kembali. “Selain itu, pada dasarnya pemeriksaan praperadilan bersamaan dengan pokok perkaranya tidak akan menghambat penegakan hukum pidana karena dalam praperadilan hanya akan menguji keabsahan tindakan hukum aparat penegak hukum, sedangkan pokok perkaranya akan menguji mengenai terbukti atau tidaknya tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa,” tambah Minarno.
Usai mendengarkan keterangan Minarno, Wakil Ketua MK, Anwar Usman yang memimpin sidang kali ini menyampaikan sidang lanjutan perkara ini akan digelar Kamis, 5 November 2015, pukul 11.00 WIB. Agendanya, yaitu untuk mendengarkan keterangan DPR dan dua ahli dari Pemohon.
Untuk diketahui, Pemohon dalam perkara yang terdaftar dengan nomor 102/PUU-XIII/2015 ini adalah Bupati Kabupaten Morotai Periode 2012-2016, Rusli Sibua. Pemohon ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana suap terkait pemenangan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah Kabupaten Morotai tahun 2011. Adapun ketentuan yang duijikan oleh Pemohon yakni Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP yang mengatur hak tersangka agar perkaranya segera dimajukan ke pengadilan dan hak terdakwa agar perkaranya segera diadili oleh pengadilan. Pemohon juga menguji Pasal 82 ayat (1) KUHAP yang mengatur gugurnya permintaan praperadilan dikarenakan perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan. Selain itu, Pemohon menguji Pasal 137 dan Pasal 143 ayat (1) KUHAP serta Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK.
Menurut Pemohon, pasal-pasal yang diujikan tersebut telah disalahartikan dalam proses penegakkan hukum, khususnya dalam hal penanganan perkara tindak pidana suap yang disangkakan kepada Pemohon. Pemohon menceritakan, telah mengajukan permohonan praperadilan atas status tersangkanya. Namun, Pemohon menganggap ada unsur kesengajaan dari pihak KPK agar permohonan praperadilan Pemohon digugurkan.
“Mereka sengaja untuk menggugurkan praperadilan ini, karena untuk menggugurkan dengan alasan bahwa perkara sudah dilimpahkan. Padahal kami mengajukan praperadilan sebelum tersangka Bupati Rusli itu diperiksa sebagai tersangka sekalipun, dan bahkan pada tanggal tersebut juga masih belum ada pemeriksaan. Sehingga kami menilai bahwa hal ini telah dilakukan atau melanggar undang-undang atau melanggar KUHAP dan SOP KPK itu sendiri,” ujar Ahmad Rifai selaku kuasa hukum Pemohon pada sidang pendahuluan Rabu (9/9). (Yusti Nurul Agustin/IR)