Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menjadi Keynote Speaker dalam Simposium Nasional Kebangsaan yang diadakan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Simposium yang digelar bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda tersebut bertema “Pancasila sebagai Jati Diri dan Harkat Bangsa”.
Dalam paparannya, Arief menuturkan bahwa Konstitusi Indonesia lebih sempurna dan lengkap dari Undang-Undang Dasar negara lain. “Saya sudah baca konstitusi dari 60 negara di dunia dan Konstitusi kita lebih sempurna dan lebih lengkap dari negara-negara tersebut,” ujarnya, Rabu (28/10).
Arief menjelaskan, pada negara-negara yang menganut paham liberalis, Konstitusinya lebih bernilai politik. Hal-hal yang diatur berkenaan dengan bagaimana seharusnya hubungan negara dan warga negara, apa saja lembaga negara yang ada, hak-hak politik apa yang dimiliki warga negara, serta apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga negara di bidang politik. “Jadi, negara liberal konstitusinya hanya bernilai politik,” ungkapnya.
Lain halnya dengan negara-negara yang menganut paham sosialis atau komunis. Pada umumnya, Konstitusi negara-negara tersebut mengatur tentang politik dan ekonomi. Berbeda pula dengan negara-negara yang mengubah Konstitusinya di era modern. Selain bernilai politik dan/atau ekonomi, Konstitusi di negara-negara tersebut juga bernilai lingkungan hidup yang disebut dengan istilah “Green Constitution”. Namun, dari kesemuanya, Konstitusi Indonesia lebih sempurna karena juga bernilai religius, terutama pada Pasal 29 UUD 1945.
“Di Indonesia, seluruh warga negara harus memiliki kepercayaan kepada Tuhan, sehingga Konstitusi kita bernilai Ketuhanan, selain tentu saja bernilai sosial, pendidikan, dan nilai lain secara lengkap. Segala aspek kehidupan di Indonesia, memiliki landasan konstitusional,” tegasnya.
Menyangkut persoalan agama, beberapa waktu lalu MK memutus pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dalam permohonannya, Pemohon mengatakan mestinya UU Haji membatasi warga negara yang sudah naik haji agar tidak kembali naik haji.
Pengujian tersebut ditolak seluruhnya oleh MK. Arief menjelaskan, sebab di Indonesia harus ada kebebasan untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya masing-masing. Oleh karena itu, MK tidak mungkin membatasi ibadah. Solusinya, menurut Arief, agar tidak terjadi antrian yang panjang, negara tidak membatasi, tapi cukup mengimbau.
“Putusan kita tidak boleh membatasi orang beribadah. Tuhan saja tidak membatasi, kok undang-undang membatasi. Tidak boleh kita lebih tinggi dari Tuhan” ujarnya.
Semangat Kebangsaan
Dalam kesempatan tersebut, Arief juga mengungkapkan keresahannya melihat semangat dan kehidupan yang berbeda pada awal kemerdekaan Indonesia dan pada saat ini. Pada saat Indonesia merdeka, Arief mengatakan elit politik dan seluruh rakyat memiliki orientasi yang sama, yaitu bagaimana membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Saat ini, menurut Arief, bangsa Indonesia hanya dipersatukan oleh hal-hal yang bersifat sempit dan fraksis. Padahal, The Founding Fathers dipersatukan oleh hal-hal yang bersifat ideologis dan idealis. “Kita sekarang di abad 21 sangat jauh dari semangat itu. Oleh karena itu, mari kita kembali kepada keteladanan yang telah diberikan oleh founding fathers,” tandas Arief. (Hendy Prasetya/Hanifah/IR)