Banda Aceh- Walaupun secara jelas bahwa Aceh memiliki kekhususan (lex specialis) melalui UU No. 11/2006. Namun dalam urusan Pilkada 2017, harus mengikuti putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015, yang mewajibkan setiap orang yang hendak mengajukan diri sebagai calon kepala daerah, hendaknya mundur dari jabatan yang sedang dia sandang, termasuk mundur dari anggota DPRA/K.
Demikian isi policy brief yang dikeluarkan oleh Jaringan Survey Inisiatif (JSI) yang diterima oleh The Globe Journal, Jumat (30/10/2015).
Peneliti JSI, Aryos Nivada, dalam lembar papernya menjelaskan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 terhadap UU No.8 Tahun 2015, tentang calon yang berlatar belakang dari anggota DPR, DPD dan DPRD berdasarkan pasal 7 huruf s yang berbunyi : memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal tersebut secara nyata memuat ketentuan perlakuan “istimewa” kepada anggota DPR, DPD, dan DPRD.Sedangkan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang berlatar belakang petahana (incumbent)dan pejabat BUMN/BUMD mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon (Pasal 7 huruf p dan huruf u).
Untuk konteks Aceh, ada UU No.11/2006 (UUPA) yang nyaris sama dengan isi UU Nomor 8 Tahun 2015. Pasal 91 UUPA ayat 4 huruf f yang berbunyi : surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
huruf h : surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRA/DPRK tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya.
Huruf i :Surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRA/DPRK yang mencalonkan diri sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
“Dalam hal ini, walaupun adanya lex specialit, namun Aceh harus tetap mengikuti putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015. Keputusan ini bersifat Declaratoir constitutive dan mempunyai kekuatan mengikat serta kekuatan eksekutorial. Putusan MK yang bersifat Final dan Binding serta Ergo Omnes. Sehingga, niscaya dipatuhi dan diikuti oleh siapa pun,” ujar Aryos.
Oleh karenanya pengambil kebijakan di Aceh diharapkan dapat membaca teks UUDdan UU secara “moral reading” yang keduanya tidak boleh dibaca secara datar teks/naskah. Sehingga dapat menemukan kandungan moral dari naskah aturan tersebut dengan mempertimbangkan konteks, filosofis sesuai dengan cita-cita demokrasi guna membangun konstruksi hukum dalam penerapan atau penyusunan qanun Pilkada serentak di Aceh untuk tahun 2017.
“Semoga pengambil kebijakan di Aceh, dalam menyusun qanun Pilkada nantinya, tetap mematuhi keputusan MK . agar tidak bertentangan dengan aturan yang ada,” harapnya.
Sumber: http://theglobejournal.com/politik/terkait-pilkada-2017-aceh-harus-ikut--putusan-mk/index.php