Penetapan Mantan Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai, Entikong Kalimantan Barat, Iwan Jaya selaku tersangka korupsi bukan disebabkan kesalahan tafsir terhadap Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Kepabeanan. Pasal tersebut sudah jelas menerangkan bahwa fungsi kantor pabean adalah dalam rangka pemenuhan kewajiban yang bersifat administartif, sedangkan fungsi kawasan pabean atau tempat lain adalah dalam rangka pemenuhan kewajiban yang bersifat fisik. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan), Rabu (28/10) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Pambudi menyampaikan hal tersebut terkait dalil Pemohon yang menyatakan penetapannya sebagai tersangka disebabkan oleh adanya penafsiran yang keliru oleh pihak Kepolisian terhadap Pasal 5 ayat (3) dan (4) UU Kepabeanan beserta penjelasannya. Lebih jelasnya, Pemohon ditetapkan sebagai tersangka karena pihak Kepolisian telah salah mengartikan istilah kantor pabean dan kawasan pabean.
Mewakili Pemerintah, Pambudi menyampaikan penetapan Pemohon sebagai tersangka sejatinya bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Pemerintah memberikan kesimpulan, penetapan tersangka terhadap Pemohon merupakan persoalan penegakkan hukum murni oleh pihak Kepolisian terhadap diri Pemohon.
“Sesungguhnya apa yang terjadi dalam perkara yang dihadapi oleh Pemohon adalah murni dari kewenangan penegak hukum yang mendasari dakwaanya, bukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 undang-undang a quo, namun didasarkan pada pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana yang didakwakan,” ujar Pambudi di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK, Anwar Usman.
Kesimpulan tersebut salah satunya didasarkan oleh definisi kantor pabean dan kawasan pabean. Menukil ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 UU Kepabeanan, Pambudi menyampaikan kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan direktorat jenderal bea dan cukai. Sedangkan kantor pabean sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 4 UU Kepabeanan didefinisikan sebagai kantor dalam lingkungan direktorat jenderal bea dan cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean.
Dalam Pasal 1 angka 6 UU Kepabeanan, lanjut Pambudi, dinyatakan bahwa pemenuhan kewajiban pabean didefinisikan sebagai semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam UU Kepabeanan. Kewajiban dimaksud dibagi menjadi dua kategori, yakni kewajiban administratif dan kewajiban fisik.
Kewajiban adinistratif dimaksud berwujud pemberitahuan pabean berupa penyampaian pemberitahuan pabean yang dilakukan di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. Sementara itu, pemenuhan kewajiban bersifat fisik sesuai Pasal 10A ayat (1) UU Kepabeanan meliputi barang impor yang diangkut beserta sarana pengangkut wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapatkan izin dari kepala kantor pabean.
Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah seperti yang diutarakan Pambudi menyampaikan bahwa keberadaan kawasan pabean dalam pemenuhan kewajiban pabean tidak mutlak ada. “Dengan demikian berdasarkan sifat pemenuhan kewajiban pabean, fungsi kantor pabean adalah dalam rangka pemenuhan kewajiban yang bersifat administartif, sedangkan fungsi kawasan pabean atau tempat lain adalah dalam rangka pemenuhan kewajiban yang bersifat fisik,” urai Pambudi.
Adapun berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Kepabeanan, Pambudi memaparkan bahwa penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam rangka pemenuhan kewajiban pabean tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menetapkan adanya kantor pabean berupa kantor pengawasan dan pelayanan bea dan cukai. Sedangkan keberadaan kawasan pabean atau tempat lain dan pos pengawasan pabean merupakan pendukung dalam proses pemenuhan kewajiban pabean.
“Dengan penjelasan tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan a quo jelas tidak multi tafsir karena baik dari substansi maupun penjelasannya sudah menunjukan secara tegas bahwa pemenuhan kewajiban pabean adalah di kantor pabean. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi yang kami hormati. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas disimpulkan bahwa dalam proses impor dan ekspor syarat utama dalam pemenuhan kewajiban pabean adalah kantor pabean. Sedangkan kawasan pabean merupakan kelengkapan dalam memudahkan pelayanan dan pengawasan yang tidak mutlak ada dalam pemenuhan kewajiban pabean,” tutup Pambudi.
Usai mendengar keteran Pemerintah, Heriyanto Citra Buana selaku kuasa hukum Pemohon meminta izin kepada Mahkamah untuk menghadirkan Pemohon Prinsipal, Iwan Jaya pada sidang berikutnya untuk didengar keterangannya. Mendengar hal tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyampaikan bahwa hal tersebut tidak diperlukan. “Saya adalah Panel yang memeriksa perkara ini. Saudara Pemohon, kebutuhan Anda untuk meminta agar Pemohon Prinsipal itu apa? Ini kan pengujian norma undang-undang. Saudara sudah diberikan kuasa untuk menguji norma ini,” tegas Palguna.
Sidang lanjutan perkara ini akan digelar pada 9 November 2015, pukul 11.00 WIB. Adapun agendanya adalah mendengarkan keterangan DPR dan ahli Pemohon. (Yusti Nurul Agustin/IR)