Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan dari para mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pakuan (FH Unpak) Bogor, pada Rabu (28/10) siang. Kedatangan rombongan mahasiswa tersebut disambut oleh Panitera Pengganti MK Hani Adhani. Dalam kunjungan itu, para mahasiswa memberikan pertanyaan seputar seleksi Hakim Konstitusi dan kewenangan lembaga negara.
Menurut salah satu mahasiswa, seleksi Hakim Konstitusi memang dipilih dari unsur Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Mahkamah Agung (MA). Namun, mengapa Hakim Konstitusi tidak bisa dipilih dari unsur masyarakat yang memiliki kompetensi. Menjawab pertanyaan itu, Hani menyatakan masing-masing unsur, baik pemerintah, DPR maupun MA memiliki kewenangan sendiri untuk menyeleksi kapasitas calon Hakim Konstitusi.
“Faktanya, Hakim Konstitusi terdiri atas sembilan orang, tiga dari Pemerintah, tiga dari DPR dan tiga dari Mahkamah Agung. Saya kira, masing-masing unsur tersebut memiliki kewenangan sendiri untuk menyeleksi kapasitas calon Hakim Konstitusi. Namun yang jelas, kita sebagai warga negara Indonesia punya hak untuk mengkritisi juga terhadap calon Hakim Konstitusi,” urai Hani kepada 70 mahasiswa jenjang S1 dan S2 FH Unpak Bogor.
Salah seorang mahasiswa, Zeintoni juga memberikan pertanyaan terkait kewenangan Komisi Yudisial (KY) terhadap hakim. Menjawab pertanyaan itu, Hani mengatakan bahwa peran dan kewenangan KY sudah jelas disebutkan dalam Pasal 24B UUD 1945 yang menyatakan, “Komisi Yudisial bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim.”
Sebelumnya, Hani Adhani yang menjadi pembicara dalam pertemuan itu menerangkan materi mengenai “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.” Hani menuturkan, salah satu tuntutan reformasi 1998 adalah melakukan amandemen UUD 1945. Selain itu, juga ada tuntutan penghapusan dwi fungsi ABRI, kebebasan pers dan mewujudkan kehidupan demokrasi. “Konstitusi kita dulu itu sebenarnya masih sangat rawan untuk disalahgunakan. Faktanya, memang justru disalahgunakan pemerintahan orde baru untuk melakukan kekuasaannya,” papar Hani yang didampingi Andi Asrun selaku Ketua Program Pascasarjana FH Unpak Bogor.
Menurut Hani, salah satu perubahan besar dalam amandemen UUD 1945 terkait kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sebelum amandemen, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyaratan Rakyat.” Sedangkan setelah amandemen, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Dengan demikian, ungkap Hani, MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara karena ada kesejajaran semua lembaga negara di Indonesia. Kedudukan MPR, DPR, DPD, MK, MA, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Presiden adalah sejajar.
Hani melanjutkan, MK di Indonesia lahir setelah proses amandemen UUD 1945 dan berdiri pada pada 13 Agustus 2003. Menurutnya, MK diberikan kewenangan menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus perselisihan hasil pemilihan umum, serta memutus pembubaran partai politik. Sedangkan kewajiban konstitusional MK terkait pemakzulan Presiden. (Nano Tresna Arfana/IR)