Ketentuan yang mengatur penyegeraan pemeriksaan dan pengajuan perkara ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (27/10). Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) selaku Pemohon menilai, ketentuan tersebut tidak memberikan jangka waktu yang pasti, sehingga tidak menjamin kepastian hukum bagi tersangka.
Adapun bunyi ketentuan yang dimohonkan pengujiannya adalah,
Pasal 50 ayat (1)
“Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”
Pasal 50 ayat (2):
“Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.”
Salah satu Pemohon, Kurniawan mengatakan, kata segera dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat 2 KUHAP tidak memberikan batasan jangka waktu yang jelas sebagaimana penahanan. “Apabila melihat kenyataan dalam tatanan praksis, banyak seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka tidak juga dilakukan penuntutan dengan melimpahkannya ke pengadilan dengan alasan melengkapi berkas penyidikan,” ujar Kurniawan selaku Ketua Bidang Kajian Strategis dan Kebijakan Publik FKHK, di Ruang Sidang MK.
Menurut Pemohon, tanpa ada batasan waktu tertentu, dapat saja seseorang menjadi tersangka seumur hidup. Hal tersebut yang kemudian dianggap Pemohon bertentangan dengan hak tersangka untuk mendapat proses hukum yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Terlebih, imbuh Pemohon, sudah terdapat Putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013 yang memberikan penfasiran terhadap kata ‘segera’ dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP.
Pemohon menjelaskan, berdasarkan Putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013, maka kata ‘segera’ dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP telah menciderai hak dasar warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum. Dengan demikian, surat pemberitahuan penangkapan harus sudah diberikan kepada keluarganya dalam jangka waktu selama 7 hari. “Artinya, ketiadaan jangka waktu untuk diajukan ke pengadilan untuk dilakukan penuntutan itu menjadi problematika dalam perspektif kepastian hukum, Yang Mulia,” imbuhnya.
Berdasarkan argumentasi itu, Pemohon kemudian mendalilkan bahwa ketiadaan kepastian hukum dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. Sebab, dapat menghambat upaya Pemohon dalam menjaga dan menegakan nilai-nilai konstitusionalisme dengan berperan aktif melakukan sosialisasi serta advokasi.
Oleh karena itu, dalam petitum permohonannya, Pemohon meminta MK menyatakan kata ‘segera’ dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, bahwa berkas perkara tersangka harus diserahkan kepada penuntut umum dalam waktu paling lama 60 hari terhitung sejak penyidikan dimulai, dalam hal tersangka ditahan berkas perkara harus diserahkan kepada penuntut umum dalam waktu paling lama 90 hari terhitung sejak penyidikan dimulai.
Menanggapi permohonan, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Hakim Konstitusi Aswanto memberikan nasihat agar Pemohon memperjelas kedudukan hukumnya. Menurut Palguna, Pemohon perlu menunjukkan siapa yang berwenang mewakili FKHK sebagai badan hukum, di luar dan di dalam persidangan. “Itu mesti ditunjukan di ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya, sehingga itulah yang bisa bertindak atas nama badan. Sebab kalau itu tidak ada, nanti ada orang-orang yang mengaku,” tutur Palguna.
Sementara itu, Maria Farida menyoroti keterkaitan antara alasan permohonan (posita) dengan tuntutan dalam permohonan (petitum). Menurut Maria Farida, Pemohon harus menyinkronkan posita dengan petitum permohonan. (Lulu Hanifah/IR)