Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) masih melindungi hak terdakwa dengan diterapkannya beban pembuktian terbalik. Jika terdakwa dapat membuktikan bahwa asal aset yang dimiliki bukan dari kejahatan, maka tidak perlu pembuktian tindak pidana asal. Hal ini disampaikan Pakar Hukum Ramelan selaku ahli yang dihadirkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam sidang uji materiil UU TPPU pada Selasa (27/10), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 90/PUU-XIII/2015 ini dimohonkan oleh Komisaris PT Panca Lomba Makmur R.J. Soehandoyo.
Ramelan menilai, permohonan Pemohon bukan masalah konstitusionalitas norma, melainkan sebagai bentuk kekhawatiran karena terjerat kasus pidana pencucian uang. Padahal, kata Ramalen, jika Pemohon dapat membuktikan di persidangan bahwa aset yang dimilikinya tidak terkait hasil pencucian uang seperti diatur Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU, maka dugaan pidana pencucian uang Pemohon dapat gugur. “Pemohon melakukan penafsiran yang keliru, bukan karena normanya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Norma Pasal 69 Undang-Undang TPPU tidak melanggar hak asasi manusia dan karenanya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ujar Ramelan di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Hal serupa diungkapkan Mantan Kepala PPATK Yunus Husein selaku ahli Pihak Terkait. Ia menjelaskan, jika Pemohon mampu membuktikan aset yang dimilikinya bukanlah hasil kejahatan sesuai teori pembuktian terbalik, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Menurutnya, penetapan tersangka dalam banyak kasus TPPU yang terjadi, justru karena ketidakmampuan tersangka membuktikan aset yang dimilikinya bukan hasil kejahatan. Ketidakmampuan inilah yang secara tidak langsung menunjukkan adanya tindak pidana asal. “Ketidakmampuan terdakwa membuktikan asal-usul asetnya menunjukan bahwa itu berasal dari sumber yang tidak sah dan menunjukan juga bahwa keberadaan tindak pidana, eksistensi pidana asal itu juga sudah ada,” tutur Yunus.
Soehandoyo merupakan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana pencucian uang yang merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 69 UU TPPU. Pasal tersebut menyatakan “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.” Pemohon mendalilkan logika hukum tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 69 UU TPPU bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana pencucian uang. Dalam perusahaan tersebut telah terjadi penggelapan dalam jabatannya yang dilakukan oleh Direktur dan Manajer Keuangan PT Panca Logam Makmur serta keduanya telah dijatuh hukuman pidana penjara selama 3 tahun. Kemudian, Pemohon selaku komisaris mengundang para pemegang saham untuk mengadakan rapat umum pemegang saham (RUPS) untuk memilih direksi baru karena masalah tersebut. Namun, RUPS tidak dapat dilaksanakan karena ada salah satu pemegang saham mayoritas yang tidak hadir. Tanpa sepengetahuan Pemohon, pemegang saham yang lain telah melakukan RUPS dan telah menetapkan pergantian pengurus perusahaan. Terhadap kejadian ini Pemohon selaku komisaris dan pengurus sementara demi menyelamatkan asset perusahaan, memindahbukukan dana perusahaan yang telah digelapkan direktur dan manajer keuangan terdahulu yang ada di rekening manajer keuangan tersebut ke rekening P.T. Panca Logam Makmur. Akan tetapi, tindakan tersebut justru menjadi dasar Pemohon menjadi tersangka. Dalam sidang terakhir ini, Arief meminta agar para pihak memberikan kesimpulan pada 4 November 2015 pada pukul 10.00 WIB. (Lulu Anjarsari/IR)