Yogyakarta - Hukuman kebiri diusulkan untuk para predator seks. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan usulan ini masih pada tahap gagasan. Usulan ini akan dituangkan dalam bentuk RUU, bukan Perppu.
"Ini masih dalam tahap gagasan. Nanti KPAI, Menteri PPA, Mensos, Menkes akan menyusun draftnya lalu diajukan ke Menkum HAM untuk sinkronisasi baru diajukan ke DPR," ujar Yasonna.
Hal ini disampaikan Yasonna di usai membuka acara Forum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia-Jepang 2015 di Hotel Tentrem, Yogyakarta, Selasa (27/10/2015).
"Kita ajukan dulu ke Prolegnas dulu deh," imbuhnya.
Yasonna menjelaskan aturan main harus dijalankan dalam mewujudkan gagasan ini menjadi sebuah regulasi. Menurutnya, pada prinsipnya adalah menerapkan hukuman sekeras-kerasnya pada predator seksual.
"Ini masih rancangan, karena harus diperhatikan aspek kesehatan dan hak Asasi manusianya. Kita akan hukum keras, itu prinsip dasarnya," kata Yasonna.
Lebih lanjut, Yassona menegaskan bahwa hukuman kebiri yang diwacanakan kali ini adalah kebiri hormon.
"Kan ada teknologi, suntik mengurangi hormon, keinginan-keinginan demikian. Bukan permanen," tuturnya.
Sebelumnya, usulan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) kebiri dinilai tidak sesuai dengan syarat perundang-undangan. Menurut ahli perundang-undangan Dr Bayu Dwi Anggono, semangat kebiri pelaku kejahatan seksual harus diatur lewat UU, bukan Perppu. Meskipun memiliki wewenang membuat Perppu sepanjang disetujui oleh DPR, namun untuk mewujudkan gagasan tersebut Presiden tetap harus memperhatikan batasan-batasan yang dikehendaki oleh UUD 1945.
"Batasan yang pertama adalah mengenai jenis peraturan perundang-undangan yang akan digunakan untuk mewadahi gagasan ini," kata Bayu.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009, MK membatasi lahirnya Perppu. Ada tiga syarat lahirnya UU yaitu:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-undang.
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
"Mahkamah berpendapat tiga syarat di atas adalah syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat 1 UUD 1945," demikian pertimbangan MK dalam halaman 19.
(sip/asp)
Sumber: https://news.detik.com/berita/3054534/hukuman-kebiri-penjahat-seksual-akan-diatur-di-uu-bukan-perppu