Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menjadi pembicara kunci (keynote speaker) dalam acara Seminar Hukum Nasional “Membumikan Demokrasi Ekonomi dalam Rangka Mewujudkan Ekonomi yang Berkeadilan” yang diselenggarakan oleh Forum Kajian dan Penelitian Hukum (FKPH) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Minggu (25/10). Dalam kegiatan yang merupakan bagian rangkaian Constitutional Law Festival (CLFest), Arief menyampaikan materi bertajuk “Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Pondasi Perekonomian Indonesia”.
Menurut Arief, keutamaan prinsip kolektivitas dalam mengelola ekonomi nasional tercermin dalam Pasal 33 UUD 1945. “Rakyat Indonesia secara bersama-sama dilibatkan dalam proses produksi dan hasil produksi untuk kepentingan bersama atau sebagian hasil produksi tersebut untuk dinikmati masyarakat luas. Lebih lanjut, frasa ‘bersama’, ‘orang banyak’, dan ‘kemakmuran rakyat’ dapat dikatakan telah menggambarkan bagaimana masyarakat luas menjadi unsur utama dalam kegiatan perekonomian yang diharapkan,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu.
Arief juga menyatakan bahwa dasar ekonomi nasional yang termaktub dalam UUD 1945 mengandung prinsip-prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan dan berkelanjutan. Selain itu, juga mengandung prinsip berwawasan lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan serta kesatuan ekonomi nasional. Menurutnya, prinsip-prinsip itu menunjukkan pentingnya membangun sistem ekonomi nasional yang berdasarkan semangat kekeluargaan dan kerjasama untuk mengelola sumber daya alam secara efektif dan efisien dengan mengakomodir kepentingan semua pihak secara adil. “Demokrasi ekonomi yang dibangun haruslah dalam kerangka menjaga keberlanjutan hidup masyarakat dan sumber daya alam yang dimiliki, dan sekaligus untuk meningkatkan kemandirian bangsa,” kata pria kelahiran Semarang itu.
Arief berpandangan, keseimbangan antara kepentingan individual dan kolektivitas dalam kehidupan perekonomian mencakup keseimbangan antara persaingan (competition) dan kerja sama (cooperation). Menurutnya, hal itu juga dapat diketahui dari keseimbangan antara sisi pengutamaan efisiensi dan sisi jaminan keadilan. Dengan diadopsinya prinsip “efisiensi-berkeadilan”, Arief berpandangan Pasal 33 UUD 1945 merupakan konstitusional dalam penyelenggaraan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi.
“Maka negara kita tidak anti terhadap kompetisi dan sistem ekonomi pasar. Meskipun perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi, tetap saja dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang kompetitif, akan tetapi dikendalikan oleh Pemerintah menuju pasar yang efisien,” jelas Arief.
Dengan adanya prinsip itu, lanjut Arief, bukan berarti negara Indonesia anti privatisasi dan tidak mengakui kepemilikan pribadi. “Peran swasta tidak dibatasi selama tidak terkait dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta kepemilikan faktor produksi oleh perorangan dibatasi oleh undang-undang, hukum adat, dan norma kepentingan komunal.” ujarnya.
Adanya prinsip efisiensi berkeadilan menurut Arief akan memajukan dan memberdayakan semua pelaku ekonomi. Untuk itu, Arief berharap pertumbuhan ekonomi dapat berkualitas dan menjamin pemerataan yang adil.
Arief juga menyatakan, Pasal 33 UUD 1945 juga telah telah melahirkan konsep “penguasaan negara” atau “dikuasai oleh negara”. Putusan MK, kata Arief, telah memberikan tafsir konstitusional terhadap hak penguasan negara dalam Pasal 33 UUD 1945. “Dalam pertimbangan hukum di beberapa putusan pengujian undang-undang, antara lain pengujian Undang-Undang Migas, Undang-Undang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Minerba, dan Undang-Undang Sumber Daya Air, Mahkamah Konstitusi telah memberikan penafsiran terhadap frasa hak menguasai negara atau penguasaan negara,” paparnya kepada para peserta yang merupakan delegasi dari berbagai universitas di Indonesia itu.
Integritas dan Moralitas
Selain berbicara mengenai prinsip ekonomi berdasar Konstitusi, Arief juga menyoroti perkembangan pendidikan tinggi hukum. menurutnya, terdapat disparitas mutu lulusan karena kondisi mahasiswa diharuskan cepat lulus. Dahulu, ungkap Arief, mahasiswa diwajibkan untuk membaca dan memahami sepuluh buku untuk dapat lulus, sehingga pemahaman mahasiswa terhadap teori-teori bisa lebih mendalam. “Sistem kredit sekarang mengharuskan selain tatap muka yang waktunya terbatas, saudara juga ada kegiatan mandiri yang terstruktur dan ada kegiatan mandiri yang tidak terstruktur, ini yang sering tidak dimanfaaatkan dengan baik oleh mahasiswa, sehingga ada disparitas,” ujar mantan Dekan FH Universitas Diponegoro itu.
Arief melanjutkan, integritas dan moralitas penting untuk dimiliki oleh mahasiswa hukum sehingga hukum tidak dijadikan komoditi. Oleh karena itu, Arief meminta kepada para mahasiswa untuk dapat mempelajari integritas dan moralitas melalui sarana teknologi informasi yang ada. “Saudara bergerak di bidang hukum tanggung jawabnya lebih berat dari profesi lain, sehingga jangan main-main,” pungkas Arief. (Ilham WM/IR)