Sidang uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (26/10) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah hadir diwakili oleh Staf Ahli Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yun Yunus Kusumahbrata. Sedangkan pihak DPR berhalangan hadir.
Memberikan keterangan, Pemerintah berpendapat sifat pemisahan usaha (unbundling) dalam UU Ketenagalistrikan berbeda dengan yang diatur dalam UU sebelumnya. Sebab, tarif dasar listrik ditentukan oleh negara, dalam hal ini Pemerintah dan DPR atau pemerintah daerah dan DPRD sesuai tingkatannya. “Selain itu, BUMN diberi prioritas utama dalam menangani usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum,” tambah Yun.
Mengenai dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh korporasi, Yun menyatakan Pemohon keliru dalam memahami ketentuan yang diuji. Menurutnya, Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan harus dibaca secara sistematis dan mengkaitkannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya. “Menurut Pemerintah permohonan Pemohon keliru dalam memahami ketentuan ayat (1), ayat (2) Undang-Undang Ketenagalistrikan. Oleh karena itu, tidak bertentangan dengan amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” jelas Yun.
Kemudian, Pemerintah juga memberikan pandangannya terhadap anggapan Pemohon yang menyatakan frasa ‘prinsip usaha yang sehat’ dalam Pasal 33 ayat (1) dan frasa ‘secara berbeda’ dalam Pasal 34 ayat (5) UU Ketenagalistrikan menyebabkan katerlisasi. Menurut Pemerintah, pengertian frasa ‘prinsip usaha yang sehat’ bukan berarti keuntungan yang sebesar-besarnya atau mekanisme pasar. Dalam UU Ketenagalistrikan, kata Yun, harga jual listrik ditetapkan oleh persetujuan Pemerintah dan DPR, atau pemerintah daerah dan DPRD dengan memperhatikan kesepakatan antarbadan usaha. Dengan kata lain, tidak ada penetapan harga melalui mekanisme pasar berdasarkan hukum permintaan dan penawaran.
“Undang-Undang Ketenagalistrikan tidak meliberalisasi sektor ketenagalistrikan, karena menurut pemerintah bahwa liberalisasi atau pasar bebas di bidang ketenagalistrikan, dimana pelaku usaha menetapkan harga jual dan tarif tenaga listrik sebebas-bebasnya mengikuti mekanisme pasar, tidak akan pernah terjadi di Indonesia,” kata Yun.
Setelah menyampaikan keterangannya, Pemerintah berkesimpulan bahwa argumentasi yang disampaikan Pemohon dalam Permohonannya adalah tidak berdasar. “Seluruh argumentasi Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan Pemohon adalah tidak benar dan tidak berdasar dan sudah seharusnya permohonan Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima,” tegas Yun.
Sebagaimana diketahui, Pemohon dalam perkara nomor 111/PUU-XIII/2015 ini adalah Adri dan Eko Sumantri, masing-masing menjabat sebagai Ketua Umum dan Sekjen DPP Serikat Pekerja PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 10 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan telah mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh korporasi swasta nasional, multinasional dan perorangan. Bahkan, ketentuan tersebut dapat mengakibatkan negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik.
Menurut Pemohon, materi muatan pasal-pasal yang diuji memuat mengenai pengelolaan usaha tenaga listrik secara terpisah (unbundling) dengan menerapkan prinsip usaha yang sehat untuk memupuk keuntungan usaha, perlakuan tarif tenaga listrik yang berbeda setiap wilayah usaha, dan membuka selebar-lebarnya peran serta korporasi swasta nasional, multinasional, maupun perorangan untuk mengelola dan mengusai tenaga listrik. Para Pemohon juga menganggap bahwa ketentuan dalam pasal-pasal yang diujikan merupakan pengulangan dari Pasal 8 ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), serta Pasal 68 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK dalam Putusan Perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003.
Selanjutnya, Para Pemohon mempermasalahkan frasa ‘prinsip usaha yang sehat’ dalam Pasal 33 ayat (1) dan frasa ‘secara berbeda’ dalam Pasal 34 ayat (5) UU Ketenagalistrikan. Menurut para Pemohon, frasa tersebut mencerminkan adanya semangat bahwa dalam hal harga jual tenaga listrik maupun tarif tenaga listrik untuk konsumen, maka pemerintah dan pemerintah daerah memerhatikan kesepakatan di antara badan usaha. Berdasarkan hal itu, kemudian Pemohon beranggapan adanya variabel yang memengaruhi harga jual tenaga listrik, yakni nilai keuntungan bagi badan usaha. Hal ini yang menurut para Pemohon berpotensi mengakibatkan adanya kartelisasi, sehingga tarif tenaga listrik menjadi mahal. (Nano Tresna Arfana/IR)