Sebanyak 20 orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FH UP) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (26/10), di aula Gedung MK. Pada kesempatan itu, Lisda Samsu Mardian selaku dosen pendamping mengatakan, kunjungan para mahasiswa bertujuan untuk mengetahui kegiatan-kegiatan yang berlangsung di MK.
“Kalau bisa kita diberi kesempatan melihat Pusat Sejarah Konstitusi dan secara langsung melihat persidangan MK,” tandas Lisda.
Sebelum melihat langsung kegiatan di MK, kedatangan rombongan mahasiswa tersebut diterima oleh Peneliti MK Helmi Kasim yang kemudian menerangkan sejumlah fungsi, kewenangan, maupun kewajiban MK. Helmi menjelaskan, MK berfungsi sebagai The Guardian of Human Rights diartikan bahwa MK sebagai pengawal hak-hak asasi manusia (HAM). “UUD 1945 sering disebut sebagai Konstitusi HAM, karena dalam satu bab khusus di UUD 1945, Pasal 28 mengatur semuanya tentang hak asasi manusia,” ucap Helmi.
Selain berfungsi sebagai The Guardian of Human Rights, MK juga berfungsi sebagai The Guardian of Citizen Constitutional Rights yaitu sebagai pengawal hak-hak konstitusional warga negara. Fungsi-fungsi MK ini dilakukan melalui pelaksanaan kewenangan-kewenangan dan kewajiban MK.
Adapun kewenangan pertama MK, ungkap Helmi, adalah menguji Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Pengujian UU dilakukan kalau ada ketentuan dalam satu UU tertentu dianggap bertentangan dengan UUD. “Apakah itu satu pasal, satu ayat, satu frasa, atau satu kata tertentu yang dianggap bertentangan dengan UUD,” jelas Helmi.
“Jadi harus ada kerugian terlebih dahulu yang disebut dengan kerugian konstitusional, yang memberikan legal standing kepada Pemohon untuk maju berperkara di MK. Tanpa kerugian konstitusional, maka Pemohon dianggap tidak memiliki legal standing,” tambah Helmi.
Kewenangan MK lainnya adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus sengketa perselisihan hasil pemilihan umum, dan memutus pembubaran partai politik. “Sampai saat ini, MK belum pernah menggunakan wewenang untuk memutus pembubaran partai politik,” kata Helmi.
Lebih lanjut, MK mempunyai kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Usai penyampaian materi dari Helmi, berlanjut dengan sesi tanya jawab. Dalam kesempatan itu, salah satu mahasiswa bertanya apakah MK memiliki kewenangan untuk menerima pengaduan konstitusional (constitutional complaint). Menjawab pertanyaan itu, Helmi mengatakan bahwa MK Indonesia tidak memiliki kewenangan constitutional complaint. “Tetapi ada kasus-kasus di MK yang nuansanya adalah constitutional complaint. Hanya, pintu masuknya melalui pengujian UU. Di banyak negara yang biasa melakukan pengujian UU adalah lembaga, bukan individu. Kalau individu masuknya melalui constitutional complaint,” jelas Helmi.
Selanjutnya, salah satu mahasiswa ada yang meminta penjelasan soal negative legislator dan positive legislator. Helmi menjelaskan, MK berbeda dengan Presiden dan/atau DPR yang berfungsi membentuk UU atau disebut positive legislator. “Kalau kita melihat lebih jauh, fungsi Mahkamah Konstitusi adalah memastikan bahwa ketentuan UUD tidak terlanggar dan tidak ada hak asasi manusia yang dilanggar oleh sebuah UU. Sebenarnya MK tidak membuat ketentuan UU, yang dilakukan adalah tafsir,” kata Helmi. (Nano Tresna Arfana/IR)