Terpidana hukuman mati Suud Rusli yang menggugat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi) menghadirkan ahli dan saksi dalam persidangan keempat perkara No. 107/PUU-XIII/2015, pada Kamis (22/10) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Pakar Hukum Tata Negara, Aidul Fitriciada Azhari selaku ahli yang dihadirkan Pemohon berpandangan, pembatasan jangka waktu permohonan grasi mengabaikan tujuan hukum dan keadilan. Sementara itu, saksi-saksi yang dihadirkan Pemohon mengungkapkan bahwa aturan yang membatasi jangka waktu permohonan grasi memang telah merugikan terpidana hukuman mati, termasuk Pemohon.
Di hadapan Majelis Hakim, Azhari menyampaikan bahwa terdapat dua ketentuan yang menjadi dasar dalam pemberian grasi. Ketentuan pertama terdapat pada Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Sementara Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 menyatakan Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Azhari, dua ketentuan tersebut harus dipahami secara sistemik.
Azhari melanjutkan, dua ketentuan itu mengandung pengertian bahwa pemberian grasi dan rehabilitasi oleh Presiden adalah semata-mata untuk tujuan hukum dan keadilan. Sementara pemberian amnesti dan abolisi, semata-mata untuk tujuan kepentingan politik nasional. “Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kekuasaan Presiden untuk memberikan grasi harus didasarkan semata-mata pada tujuan hukum dan keadilan. Tidak disampingkan untuk kepentingan lain, atau direduksi menjadi kepentingan administrasi,” ujar Azhari di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Wakil Ketua MK, Anwar Usman.
Azhari kemudian berpendapat, alasan pembatasan permohonan grasi atas dasar waktu penyelesaian permohonan grasi memakan waktu sangat lama dan terlalu birokratis telah mengabaikan tujuan pemenuhan hukum dan keadilan. Padahal, lanjut Azhari, Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 sama sekali tidak menyebutkan adanya pembatasan terhadap pemberian grasi oleh Presiden, kecuali harus berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Agung. Dengan demikian Azhari menyimpulkan, ketentuan yang membatasi permohonan grasi hanya dapat diajukan paling lama satu tahun sejak keputusan memperoleh kekuatan tetap sudah pasti bertentangan dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Dengan demikian perubahan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Grasi tersebut harus dikembalikan kepada ketentuan yang sesuai dengan norma dan hakikat filosofis kekuasaan Presiden sebagaimana terkandung pada Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tegas Azhari.
Pernyataan Azhari tersebut senada dengan kesaksian Ramdan Effendi atau yang lebih dikenal dengan nama Anton Medan yang hadir pada persidangan kali ini selaku saksi Pemohon. Sebagai mantan terpidana, Anton mengaku tahu persis keadaan rekan-rekannnya di penjara yang dipidana hukuman mati seperti Pemohon. Para terpidana hukuman mati yang pernah sama-sama merasakan dinginnya jeruji besi menurut Anton tidak mendapat kepastian hukum. Sebab, meski sudah dipidana hukuman mati, para terpidana yang menjadi kenalan Anton tersebut tidak juga diberi kejelasan eksekusi. Bahkan, salah satu teman Anton sampai meninggal di bui setelah menjalani hukuman 46 tahun penjara tanpa kejelasan.
“Ini kan tidak menyiksa narapidana saja, tapi juga keluarga, anak, istri. Komunikasi dengan dunia luar sulit. Seperti Rusli (Pemohon, red) ini tidak bisa berkomunikasi dengan orang luar selama tiga tahun lebih, kok ini (mengajukan permohonan grasi, red) justru dibatasi satu tahun saja,” ungkap Anton yang kini dikenal sebagai penceramah agama.
Mendengar kesaksian tersebut, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar melontarkan pertanyaan terkait masa tunggu untuk mengetahui putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. “Pak Anton mengetahui putusan mempunyai kekuatan hukum tetap itu sampai kasasi itu setelah ditahan berapa tahun?” tanya Patrialis.
Anton menyampaikan dirinya harus menunggu selama sepuluh tahun lebih untuk mengetahui pemberitahuan putusan kasasi. “Sepuluh tahun, Yang Mulia. Belum lagi grasi,” ungkap Anton lagi.
Saksi Pemohon lainnya, Mayjen (Purn) Saurip Kadi juga memberikan kesaksiannya untuk memperkuat dalil Pemohon. Saurip menyampaikan di dalam dunia tentara, perintah merupakan hukum tertinggi. Oleh karena itu, meski atasan memerintahkan pembunuhan, maka akan dipahami sebagai pembunuhan sebagai kepentingan kemanusiaan dan demi tegaknya hukum. Menurut Saurip, hal inilah yang terjadi pada diri Pemohon, melakukan kasus pembunuhan selaku prajurit yang diperintah oleh atasannya. Bila harus disalahkan, lanjut Saurip, atasan Pemohon saat itulah yang seharusnya dipidana.
“Republik ini terlalu kejam, Yang Mulia. Bagaimana mungkin ada bawahan masuk penjara gara-gara melaksanakan tugas. Ia harus masuk penjara kalau Ia kesalahannya sendiri atau Ia menyimpang ketika Ia melaksanakan tugas. Bagaimana mungkin seorang kopral kemudian dihukum pelanggaran HAM, perwiranya yang harus dihukum, Yang Mulia,” tandas Saurip.
Sebelum menutup sidang, Anwar Usman menyampaikan sidang lanjutan untuk perkara ini akan digelar pada 2 November 2015, pukul 14.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan ahli dari Pemohon. (Yusti Nurul Agustin/IR)