Secara historis, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) lebih efektif dan relevan dalam menjalankan fungsi registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta kewenangan menerbitkan surat izin mengemudi (SIM). Demikian diungkapkan Pakar Ilmu Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra selaku Ahli yang dihadirkan oleh Polri selaku Pihak Terkait dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Sidang ketujuh perkara Nomor 89/PUU-XIII/2015 tersebut digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (22/10), di Ruang Sidang Pleno MK.
Yusril menerangkan, memang UUD 1945 tidak memberikan pengaturan secara spesifik mengenai kewenangan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta penerbitan SIM. Akan tetapi, penunjukkan Polri sebagai pelaksana kewenangan tersebut merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dengan melihat efektivitas, relevansi dan sejarah penyelenggaraan administrasi sejak jaman dahulu. Menurutnya, hal ini bukanlah masalah besar karena Polri sudah melakukan kewenangan tersebut sejak lama, sehingga semakin efektif.
“Melakukan identifikasi dan registrasi kendaraan bermotor, pemberian kewenangan tersebut pada Polri adalah semata-mata didasarkan kepada efektivitas, relevansi, dan akar historis penyelenggaraan pemerintahan di bidang ini. Lebih-lebih jika dilihat dari keadaan sekarang setelah amandemen Bab VI otonomi daerah, bahwa registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor pertama-tama haruslah dikaitkan dengan efektifitas sebuah instansi pemerintahan dalam menyelenggarakannya,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Sedangkan adanya ide untuk memindahkan kewenangan kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub), menurut Yusril justru tidak efektif karena Kemenhub tidak mempunyai aparat di daerah seperti Polri. Menurutnya, dinas angkutan lalu lintas di daerah bukanlah bagian dari Kemenhub, melainkan bagian dari Pemerintah Daerah. Hal ini justru akan mempersulit negara dalam hal melakukan database kendaraan bermotor karena tidak adanya jaringan yang dimiliki Kemenhub di daerah. Selain itu, Kemenhub tidak memiliki kewenangan dalam menegakkan hukum sehingga akan mempersulit dalam mengungkap tindak pidana seperti pencurian kendaraan bermotor.
“Karena itu, saya berpendapat Polri yang tidak terkena otonomi daerah dan tetap sentralistik sampai sekarang, dan bekerja secara struktural dari pusat sampai ke daerah-daerah terpencil, dan memiliki kemampuan melakukan uji forensik kendaraan bermotor dalam kaitannya dengan pengungkapan suatu tindak pidana, adalah instansi yang paling relevan untuk diberi kewenangan melakukan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor,” terangnya.
Sementara ahli Pihak Terkait lainnya, Guru Besar UGM Marcus Priyo Gunarto menjelaskan, dalam hal ada dugaan kejahatan terkait dengan kendaraan bermotor, data regident ranmor maupun SIM berfungsi sebagai data forensik Kepolisian. Data ini, lanjutnya, akan lebih mudah diperoleh penyidik apabila Polri diberi kewenangan mengelola data regident ranmor dan SIM. Ia menyebut kewenangan ini justru akan memperkuat pelaksanaan kewenangan Polri dibidang keamanan dan ketertiban masyarakat. “Bukan sebaliknya menyebabkan berkurangnya perhatian atau tidak maksimalnya Polri dalam melaksanakan kewenangan dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat,” tegasnya.
Dalam sidang tersebut, Polri menghadirkan saksi yang merupakan penyandang tunadaksa. R.H. Kastanya selaku saksi Pihak Terkait menjelaskan, meski menyandang cacat fisik, dirinya tidak pernah dipersulit dalam mendapatkan SIM oleh Polda Metro Jaya pada 1990 silam. Ia hanya mengimbau agar pemerintah memperhatikan para penyandang cacat yang ingin menggunakan kendaraan. “Saya inginnya pemerintah menggandeng industri-industri otomotif atau kendaraan bermotor untuk menciptakan teknologi yang bisa kita pergunakan untuk penderita cacat itu sendiri, Pak. Jadi mungkin secara teknis teknologi itu menjadi pabrikan sehingga keamanan di jalan bisa terjamin,” sarannya.
Seperti diketahui, para Pemohon adalah Alissa Q. Munawaroh Rahman (Pemohon I), Hari Kurniawan (Pemohon II), Malang Corruption Watch yang diwakili Ketua Badan Pengurus Lutfi J. Kurniawan (Pemohon III), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang diwakili Ketua Badan Pengurus Alvon Kurnia Palma (Pemohon IV) dan Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah yang diwakili Ketua Umum Dahnil Anzhar. Norma-norma yang diujikan yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c UU Polri serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat 3, Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88 UU LLAJ.
Menurut para Pemohon, sesuai dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Polri merupakan alat negara yang menjaga, keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Hal ini berarti, fungsi Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban. Sedangkan tugasnya yaitu melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum, untuk mendukung fungsi menjaga keamanan dan ketertiban. Sehingga Pemohon beranggapan, kewenangan Polri untuk regitrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta menerbitkan SIM bukan merupakan bukan bagian dari menjaga keamanan dan ketertiban. Pemohon mendalilkan, dalam pembagian administrasi pemerintahan yang baik, maka wewenang mengeluarkan, mengatur, menjalankan dan menindak, seharusnya tidak berada pada instansi yang sama. (Lulu Anjarsari/IR)