Para peserta Pendidikan dan Latihan (Diklat) “Perancang Peraturan Perundang-undangan” di Kementerian Pertahanan berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (22/10). Kedatangan mereka kemudian mendapatkan sambutan hangat dari Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati di Aula Lantai Dasar Gedung MK.
“Kunjungan ke MK untuk menambah wawasan peserta Diklat Perancang Peraturan Perundang-undangan mengenai MK, sekaligus implementasi apa yang mereka dapatkan di bangku kuliah. Misalnya, mereka dapat mengetahui mekanisme persidangan MK,“ ujar Kolonel SB Panjaitan selaku pimpinan rombongan.
Memberikan wawasan, Maria kemudian menjelaskan cikal bakal munculnya gagasan adanya pengujian Undang-Undang (UU) lewat Kasus Marbury vs Madison pada 1803. Berdasarkan kasus tersebut, lanjut Maria, muncul pemahaman dari pakar hukum tata negara Hans Kelsen yang menyatakan perlu adanya lembaga peradilan khusus untuk menguji UU terhadap Konstitusi. Hingga akhirnya, dibentuk MK pertama di dunia yaitu MK Austria pada 1920.
Maria menuturkan, sejatinya di Indonesia gagasan untuk membentuk lembaga penguji UU sudah muncul pada masa kemerdekaan. Kala itu, Moh. Yamin mengusulkan perlunya kewenangan membanding UU terhadap UUD melalui Balai Agung. Tapi gagasan Yamin ditolak Soepomo. Salah satu alasannya, kata Maria, masih belum banyaknya sarjana hukum di Indonesia pada masa itu.
Barulah saat terjadi amandemen UUD 1945 pada 2001, ide membentuk Peradilan Konstitusi kembali dilontarkan. Alhasil setelah melalui pembahasan mendalam, tepatnya pada 13 Agustus 2003 MK Republik Indonesia dibentuk dengan memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan pertama MK adalah menguji UU terhadap UUD.
“Pengujian UU terhadap UU sampai sekarang yang paling sering dilakukan MK, karena kalau memutus perkara sengketa Pileg atau Presiden tiap lima tahun sekali,” jelas Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut kepada 29 peserta kunjungan.
Maria melanjutkan, kewenangan kedua MK adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar. Kewenangan MK berikutnya adalah memutus perselisihan hasil pemilu dan memutus pembubaran partai politik. Sedangkan kewajiban MK, yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Pada kesempatan itu, Maria juga menerangkan keberadaan Hakim Konstitusi yang berjumlah sembilan orang dari Unsur Pemerintah, DPR dan Mahkamah Agung. “Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai Konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Sedangkan Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih oleh para Hakim Konstitusi,” urai Maria.
Setelah memaparkan materi, Maria memberikan kesempatan kepada peserta kunjungan untuk melakukan tanya jawab. Salah satu peserta kemudian menanyakan syarat-syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi. Menjawab pertanyaan itu, Maria mengatakan bahwa Hakim Konstitusi harus negarawan yang menguasai Konstitusi. Menurut Maria, negarawan yang menguasai Konstitusi adalah orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian penyelenggaraan negara, serta berkomitmen untuk melaksanakan dan mengawal kehidupan bernegara sesuai dengan koridor konstitusi.
“Dalam melakukan seleksi terhadap calon Hakim Konstitusi kadang dilakukan dengan melihat rekam jejak dari calon Hakim Konstitusi. Misalnya, menanyakan apakah yang bersangkutan pernah membuat paper tentang apa dan sebagainya,” ucap Maria.
Menjawab pertanyaan selanjutnya mengenai beda kewenangan MK dengan Mahkamah Agung, Maria menjelaskan bahwa MK merupakan peradilan norma, kewenangannya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sedangkan Mahkamah Agung, jelas Maria, berwenang menguji peraturan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. (Nano Tresna Arfana/IR)