Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (UU Rusun) yang diajukan oleh empat orang pemilik rusun, Eva Kristanti, dkk pada Rabu (21/10), di Ruang Sidang Pleno MK. Pemerintah menghadirkan satu orang saksi Zein Isa, dan dua orang ahli, yakni Arie Sukanti Hutagalung dan Muhammad Ilham Hermawan.
Memberikan kesaksian, Zein Isa menyatakan pernah mengikuti proses pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) di Apartemen Kalibata City bersama warga lainnya. Zein juga mengakui bahwa di lingkungannya juga terdapat panitia lain yang dibentuk oleh pengelola untuk membentuk P3SRS. “Jadi kami memang membentuk P3SRS, pada saat itu kami sudah tahu bahwa pihak pengelola juga berusaha membentuk P3SRS berupa satu panitia musyawarah yang dibentuk oleh pengelola,” ujar Zein.
Mendalami kesaksian, kuasa hukum Pemohon Muhammad Joni menanyakan kepada saksi terkait adanya dua proses pembentukan P3SRS di Apartemen Kalibata City dan pengesahannya sebagai sebagai badan hukum. Menjawab pertanyaan itu, Zein mengakui memang ada dua proses pembentukan P3SRS dan keduanya belum disahkan. “Memang ada terjadi dua proses dalam pembentukan P3SRS di tempat kami, yang satu dari warga, yang satu dari badan pengelola. Kemudian yang kedua, apakah sudah disahkan? Saat ini keduanya belum disahkan oleh gubernur,” jawab Zein.
Makna Pasal
Pada kesempatan itu, pakar hukum agraria Arie Sukanti Hutagalung memberikan pandangannya terhadap pasal-pasal yang diujikan Pemohon. Menurut Arie, ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU Rusun yang mengatur keanggotaan P3SRS dapat dimaknai bahwa anggota P3SRS adalah pemilik atau penghuni yang dapat kuasa dan pemilik rusun. “Yang berarti sepanjang mereka adalah pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun, maka mereka berhak menjadi anggota P3SRS. Nah, ini memang lebih karena kalau menunggu semua ada pemiliknya selama tidak dijual yang menjadi pemiliknya adalah pelaku pembangunan. Jadi, harus benar-benar ada kuasa di sini,” papar Arie sebagai ahli yang pernah mengikuti proses pembentukan UU Rusun.
Arie juga menyatakan, kata para dalam frasa “para pemilik atau penghuni sarusun” dalam Pasal 1 angka 21 UU Rusun adalah sama dengan kata seluruh. Adapun alasannya, karena dalam undang-undang sebelumnya, sudah digunakan tatanan kata para, bukan kata seluruh. Hal ini guna menjawab dalil Pemohon yang menyatakan kata para dapat berarti sebagian atau sebagian besar, sehingga mengakibatkan tidak semua pemilik menjadi anggota P3SRS. “Ini hanya suatu teknis dalam perundang-undangan, (kata) para itu memang dari tahun Undang-Undang Nomor 16, itu sudah kata para, tidak tatanan kata seluruh,” jelas Arie.
Kemudian terkait dengan Pasal 75 ayat (4) UU Rusun yang memberikan pilihan P3SRS untuk dapat membentuk atau menunjuk pengelola, menurut Arie hal ini adalah sebuah kebijakan. “Para pembuat undang-undang sengaja membuat pilihan kepada badan hukum P3SRS, apakah ingin membentuk sendiri atau tidak, atau menunjuk dan ataupun tidak pihak pengelola, jadi boleh dipilih salah satu,” terang Arie.
Selain Arie Sukanti, Pemerintah juga menghadirkan Ahli Hermeneutika Muhammad Ilham Hermawan. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan kata para dalam Pasal 1 angka 21 UU Rusun bertentangan dengan Konstitusi jika tidak dimaknai dengan kata seluruh, Ilham menjelaskan bahwa berdasarkan tafsir textualism, maka kata para merupakan kata penyertaan yang mengacu kepada kelompok yang merupakan satu kesatuan kumpulan yang mempunyai jalinan atau ikatan antara anggota kelompok tersebut. Untuk itu, dalam hal P3SRS, maka kata para terdiri dari para pemilik dan para penghuni. “Maka kata para menuju kepada P3SRS terdiri dari para pemilik dan para penghuni menurut pendapat saya sudah tepat karena mana kata tersebut sesuai dengan tujuan terbentuknya P3SRS,” papar Hermawan.
Usai mendengarkan keterangan tersebut, Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat menyatakan bahwa sidang akan digelar kembali dengan agenda mendengarkan putusan dari Mahkamah. Oleh karenanya, para pihak diminta untuk menyerahkan kesimpulan atas seluruh rangkaian persidangan kepada Kepaniteraan MK, pada Kamis (29/10).
Seperti diketahui, para Pemohon menilai, kata ‘para’ dalam frasa ‘para pemilik atau penghuni sarusun’ dalam Pasal 1 angka 21 UU Rusun, tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum, serta mengancam perlindungan harta benda dan hak milik pribadi para Pemohon yang dijamin dalam UUD 1945. Menurut Pemohon, penggunaan kata ‘para’ dapat berarti hanya sebagian atau sebagian besar sehingga mengakibatkan tidak semua pemilik menjadi anggota P3SRS. Hal ini merugikan pemilik karena membuka celah bagi terbentuknya P3SRS lain, sehingga P3SRS tidak menjadi badan hukum tunggal dalam pengelolaan rumah susun/apartemen.
Kemudian, ada perbedaan dan ketidakkonsistenan norma hukum pada Pasal 59 ayat (1) dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Rusun yang menentukan ‘masa transisi’ adalah masa ketika sarusun belum seluruhnya terjual. Ketentuan yang tidak konsisten itu merugikan para Pemohon dan bertentangan dengan Pasal 59 ayat (2) UU Rusun yang menentukan bahwa masa transisi ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali. Para pemohon menganggap, frasa ‘paling lama 1 (satu) tahun’ menafikan tanggung jawab produk pelaku pembangunan, sehingga ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU Rusun sepanjang frasa ‘paling lambat 1 (satu) tahun’ adalah ketentuan yang tidak adil dan menjustifikasi lepasnya tanggung jawab pelaku pembangunan atas produknya. (Panji Erawan/IR).