Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan seleksi hakim sepenuhnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung, tak lagi menyertakan Komisi Yudisial. Hal ini, menurut Ketua MK Arief Hidayat, berpijak pada prinsip manajemen satu atap lembaga peradilan sesuai amanat Reformasi.
Sebab, selama Orde Baru, hal-hal di luar teknis dan administrasi persidangan sepenuhnya diatur oleh eksekutif, dalam hal ini Menteri Kehakiman. Akibatnya, para hakim ditengarai menjadi kurang independen dalam membuat putusan.
Arief juga mengingatkan, kehadiran Komisi Yudisial, yang juga merupakan amanat Reformasi, peran dan kewenangannya tidak lantas seolah menjadi atasan MA. Peran yang lebih pas dimainkan oleh KY sebaiknya adalah ikut menjaga marwah para hakim, bukan mengawasi.
"Istilah pengawasan, saya juga tidak setuju. Badan peradilan itu tidak boleh istilahnya diawasi. Undang-Undang Dasar tidak menggunakan istilah mengawasi. Tapi menjaga keluhuran martabat hakim. Gitu, lo. Kalau ngawasi itu seolah subordinat," kata Arief saat berbincang dengan majalah detik di ruang kerjanya, Kamis, 15 Oktober 2015.
Terkait pelaporan terhadap dirinya dan tiga hakim MK yang berasal dari MA oleh Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta, ia menepis adanya kemungkinan konflik kepentingan. Arief mencontohkan dirinya, yang diusulkan oleh DPR sebagai hakim MK, dalam prakteknya kerap membatalkan undang-undang yang dibuat Dewan.
"Dulu KY karena ada kasus oleh perpu diikutkan untuk menjaga marwah Mahkamah Konstitusi, tapi oleh Mahkamah Konstitusi dibatalkan karena tidak sesuai dengan konstitusi, toh tidak ada masalah. Sembilan hakim tidak dilaporkan ke polisi," kata Arief membandingkan.
Berikut wawancara lengkap majalah detik dengan Ketua MK Arief Hidayat:
Kewenangan Komisi Yudisial terpangkas dengan putusan MK....
Sekarang begini, menurut putusan Mahkamah Konstitusi, di dalam UUD tidak memberikan kewenangan itu. Kewenangannya limitatif mengusulkan hakim agung, menjaga marwah dan martabat hakim, itu putusannya. Sehingga, ya, tidak boleh begitu.
Mahkamah Agung juga kewenangannya tidak ada dalam UUD untuk menyeleksi hakim?
Tapi kan prinsipnya satu atap. Reformasi badan peradilan di Indonesia memberikan kewenangan MA menjadi lembaga satu atap dalam proses yudisial dan administrasinya. Dulu MA masalah hakimnya, gajinya, kepangkatan, rotasi, fasilitasnya dari siapa? Dari eksekutif melalui presiden.
Dulu, kalau ada hakim yang dipindah, tugas Menteri Kehakiman. Mahkamah Agung itu kalau butuh rumah, kendaraan, pangkatnya naik, itu dulu (wewenang) Menteri Kehakiman. Setelah Reformasi, wah itu tidak benar, lembaga peradilan harus independen dari pengaruh mana-mana. Maka muncul prinsip satu atap. Kalau sekarang kecenderungannya ada dari lembaga lain. Memang dalam konstitusi tidak diatur. La, nanti malah jadi underbow KY kalau (tetap) gitu.
Bisa menjamin kalau satu atap bisa membaik?
Siapa yang bisa menjamin? Yang bisa menjamin kan hanya Tuhan.
Kalau ada KY, paling tidak seleksinya diawasi agar membaik....
Istilah pengawasan, saya juga tidak setuju. Badan peradilan itu tidak boleh istilahnya diawasi. Undang-Undang Dasar tidak menggunakan istilah mengawasi, tapi menjaga keluhuran martabat hakim. Gitu, lo. Kalau ngawasi itu seolah subordinat. Yang mengawasi punya posisi lebih tinggi daripada yang diawasi. Istilah itu harus diluruskan.
Jangan sampai hakim itu berbuat salah. Ibaratnya, kalau ada anak kecil itu masih belajar jalan, jangan sampai jatuh. Sebelum jatuh, dia sudah dijaga. Harusnya menjaga seperti itu. Berjalan seiring menjaga jangan sampai jatuh, jangan sampai berbuat salah. Kalau ada hakim yang salah, sebetulnya yang jaga juga ikut salah. Dewan etik bukan mengawasi, tapi menjaga kita agar hakim MK tidak salah.
Akibat putusan itu, empat hakim MK dilaporkan ke Polda Metro Jaya, termasuk Anda....
Itu hak warga negara untuk melaporkan dan meminta keadilan. Tapi perlu diketahui bahwa putusan hakim itu sebetulnya tidak bisa diganggu gugat atau dipermasalahkan. Yang jadi masalah adalah begini, hakim MK terdiri atas 9 orang, tiga orang usulan DPR, salah satunya saya, tiga orang usulan dari presiden, yakni Patrialis (Akbar) dan Profesor Maria (Farida Indrati) serta (Dewa Gede) Palguna, dan tiga dari MA. Setelah jadi hakim MK, kami tidak ada ikatan dari lembaga pengusul sehingga hakim di sini secara kelembagaan adalah independen, secara personal masing-masing hakim imparsial, otonom.
Dalam memutus perkara tersebut, dituding ada konflik kepentingan karena tiga hakim berasal dari MA?
Kalau gitu pertanyaannya, MK pernah memutus undang-undang yang berkaitan dengan MK sendiri. Kan ini artinya konflik kepentingan dengan semua hakim. Tapi, waktu itu, tidak ada masalah, kan? Tidak diributkan. Dulu KY karena ada kasus oleh perpu diikutkan untuk menjaga marwah MK, tapi oleh MK dibatalkan karena tidak sesuai dengan konstitusi, toh tidak ada masalah. Sembilan hakim tidak dilaporkan ke polisi.
Intervensi dari Mahkamah Agung pada tiga hakim tersebut?
Saya tidak pernah takut membatalkan undang-undang yang dibuat DPR. Kalau itu melanggar konstitusi, saya harus berpendapat bahwa itu melanggar konstitusi. DPR sudah tidak bisa mengintervensi saya. Begitu juga hakim-hakim yang berasal dari presiden, presiden tidak bisa intervensi. Begitu juga hakim-hakim yang berasal dari MA, tidak bisa diintervensi.
Kalau mau ada intervensi, pun kami tidak bisa diintervensi. Kami bertanggung jawab pada Tuhan yang Mahakuasa selain pada bangsa dan negara. Keyakinan kami yang kami pertanggungjawabkan pada Tuhan. Kami ini otonom.
Putusan MK soal pilkada calon tunggal juga dinilai kontroversial....
Putusan siapa pun pasti menimbulkan pro dan kontra. Putusan presiden, menteri, hakim MA juga begitu. Karena manusia kan punya pemikiran, dilihat dari perspektif dan kepentingannya sendiri-sendiri. Kalau perspektif sendiri masih bagus, tapi kalau dilihat dari kepentingannya sendiri-sendiri, itu yang repot.
Dalam putusan, MK memakai kata referendum?
Dalam putusan, tidak ada itu. Kami hanya mengatakan, kalau ada satu pasang calon saja, tetap dilakukan pemilihan. Ada kontestasinya melalui cara menentukan setuju atau tidak setuju. Kalau dalam teori bisa saja, "Oh, itu semacam referendum... oh, itu semacam plebisit." Tapi kami tidak mengatakan itu.
Pertimbangan kami, kalau ada satu pasang calon saja, rakyatlah yang menentukan apakah dia setuju atau tidak pada satu pasang itu. Kalau setuju, dia diangkat, diputuskan oleh KPU menjadi pasangan terpilih. Kalau tidak setuju, dilakukan pada pilkada serentak selanjutnya.
Kalau tidak setuju yang menang artinya dilakukan pemilihan dua kali dan tidak efisien....
Tapi itu yang menentukan rakyat. Kalau, misalnya, yang menunda itu KPU, malah enggak tepat. Yang menunda seharusnya rakyat sendiri kalau banyak rakyat yang tidak setuju. Yang memegang kedaulatan tertinggi itu siapa dalam sistem demokrasi Indonesia? Kan, rakyat. Itu kan lebih adil daripada yang menunda itu KPU.
Jadi bukan masalah efisiensi. Sekarang sebetulnya negara sudah mengeluarkan uang sampai proses ke pasangan calon. Kalau sampai ditunda oleh KPU, artinya negara sudah ada kerugian.
Kami sampai pada putusan itu karena tidak ada solusi yang diberikan undang-undang. Jadi ada kevakuman hukum terhadap undang-undang itu. Jadi hak-hak rakyat untuk memilih dan dipilih tidak ada solusinya. Akhirnya kami membuat terobosan dengan membuat solusi yang didasarkan pada pemikiran yang berdaulat adalah rakyat dan jangan menunda hak konstitusional warga negara untuk dipilih dan memilih.
Kalau, misalnya, mau ditunda pun, silakan rakyat yang menentukan. Silakan, misalnya ada orang kuat di suatu daerah, semua partai di daerah itu dibeli dan muncul hanya satu calon, kemudian kan nanti dikembalikan ke rakyat. Rakyat setuju atau tidak?
Bagaimana jika ada sengketa pada pilkada calon tunggal?
Kami baru menyiapkan beberapa draf alternatif penyelesaian sengketa. Sebetulnya yang harus diatur itu ada dua hal penting. Pertama, siapa yang punya legal standing mengajukan. Kedua, selisih suara yang setuju dan tidak setuju berapa yang bisa diajukan PHPU (perselisihan hasil pemilihan umum). Kita baru susun dan minggu depan sudah bisa saya tanda tangani, setelah disetujui RPH (rapat permusyawaratan hakim) kemudian kita sosialisasikan.
Yang punya legal standing nanti siapa?
Masih banyak alternatif. Tadi saya baru terima studi, dari Perludem memberikan masukan pada kita. Siapa yang bisa menjadi pemohon dalam hal yang dikalahkan tidak setuju. Kalau yang kalah setuju, sudah jelas yang punya legal standing kan calonnya. Kalau yang kalah yang tidak setuju, kami masih kaji lagi alternatifnya.
Kami buatkan nanti peraturan Mahkamah Konstitusi untuk melengkapi putusan MK yang sudah ada. Tidak bisa setiap orang punya hak, bisa kacau nantinya republik ini.
Tenggat MK mengeluarkan putusan setelah RPH?
Di dalam pengujian undang-undang atau judicial review, tidak ada batasan waktu kapan harus diselesaikan. Kalau dalam pilpres, pileg, dan pilkada, ada, maksimal 45 hari. Tetapi, dalam pengujian undang-undang, tidak ada, dalam SKLN (sengketa kewenangan lembaga negara) tidak ada. Itu tergantung kompleksitas permasalahan konstitusionalitasnya permohonan.
Putusan UU MD3 baru dibacakan 11 bulan setelah RPH sehingga menimbulkan kecurigaan....
Kami itu independen, tidak bisa dipengaruhi. Sampai hari ini, Presiden Mega, SBY, kemudian Jokowi tidak pernah melakukan intervensi. Kemarin dicurigai izin pemeriksaan DPR harus ke presiden itu ada intervensi, tidak ada itu (intervensi dari) teman-teman DPR. Mahkamah Agung juga. Kami ini lembaga yang sejajar, kok.
Anda selalu mengatakan hakim di MK otonom, imparsial, independen. Tapi ada catatan buruk di MK ketika Ketua MK terlibat penyalahgunaan wewenang....
Saya kira seluruh hakim di MK sangat berhati-hati betul. Pengalaman yang terjadi di masa lalu menyebabkan kami selalu menutup akses terhadap hal-hal yang demikian. Makanya saya bilang berhukum itu baik menjalankan hukum atau menegakkan hukum tidak semata-mata bertanggung jawab di dunia, tapi juga pada Tuhan yang Maha Esa.
Dalam internal hakim, ada self audit pada masing-masing hakim, kami juga punya dewan etik. Untuk pegawainya, punya lembaga pengawas internal. Jadi kami sehari-hari diawasi dewan etik. Soal putusan yang agak panjang juga ditanyakan pada kami oleh dewan etik. Yang kecil-kecil juga. Dewan etik selalu memberi saran dan masukan serta peringatan.
Dari dunia akademis, masuk ke dunia peradilan. Anda punya catatan....
Ada satu hal yang sangat hakiki yang saya temukan. Bahwa berhukum di Indonesia harus dilandasi ketuhanan selain bertanggung jawab pada negara dan warga negara. Kalau kami mempermainkan hukum, misalnya ada pasal yang hilang atau jual-beli perkara, sinar ketuhanannya di mana?
Sehingga, pada waktu saya membaca putusan, keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Mahkamah Konstitusi yang mengadili ini. Saya selalu merinding kalau baca putusan, sehingga saya tidak berani bermain-main dalam menjalankan atau mengambil keputusan.
Sumber: https://news.detik.com/wawancara/3049489/ketua-mk-arief-hidayat-badan-peradilan-tak-boleh-diawasi