Penggabungan Konsil Kedokteran (KK) dengan Konsil Kedokteran Gigi (KKG) menjadi Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) tidak akan mempengaruhi independensi kedua konsil tersebut dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Hal ini disampaikan Staf Ahli Kementerian Kesehatan Budi Sampurno dalam sidang terakhir uji materiil Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (21/10) siang, di Ruang Sidang Pleno MK.
Budi menyebut, UU Tenaga Kesehatan maupun Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah jelas menyebutkan fungsi dan tugas KK dan KKG yang berbeda dengan KTKI. Ia menerangkan, KTKI hanya berfungsi sebagai koordinator dari setiap konsil, sementara fungsi pengaturan, penetapan dan pembinaan tenaga kesehatan tetap dilakukan oleh masing-masing konsil.
“Pasal 36 menyebutkan fungsi KTKI sebagai koordinator dari konsil masing-masing tenaga kesehatan, sedangkan Pasal 37 menyatakan bahwa fungsi pengaturan, penetapan, dan pembinaan tenaga kesehatan berada pada konsil masing-masing tenaga kesehatan. Dengan demikian kedua undang-undang tersebut yaitu Undang-Undang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Tenaga Kesehatan mengatur bahwa, baik KKI yang terdiri dari KK dan KKG dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran maupun konsil masing-masing tenaga kesehatan dalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan memiliki independensi dalam menjalankan tugasnya,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Sementara, mengenai adanya ketentuan yang menyatakan KTKI bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri seperti yang tercantum Pasal 34 ayat (5) UU Tenaga Kesehatan, Budi menjelaskan agar pasal tersebut dimaknai bahwa KTKI harus bertanggung jawab secara administratif. “Ini tidak mengakibatkan berkurangnya independensi konsil dalam menjalankan tugasnya,” jelasnya sebagai ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam sidang perkara nomor 82/PUU-XIII/2015 tersebut.
Merugikan Masyarakat
Pernyataan berbeda disampaikan oleh Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Muhammad Naseer selaku ahli yang dihadirkan Pemohon. Menurut Naseer, ketiadaan KK dan KKG akan merugikan masyarakat. Hal ini karena kedua konsil tersebut memiliki fungsi untuk melayani dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. “Menghapus, mengurangi, mereduksi, peran dan posisi konsil kedokteran akan sangat nyata-nyata merugikan masyarakat bangsa ini dan sama sekali tidak merugikan dokter atau dokter gigi,” terangnya.
Nasser juga menolak penggabungan KK dan KKG menjadi KTKI. Menurutnya, ada perbedaan besar antara dokter dengan tenaga kesehatan lainnya. Ia menilai, dokter dan dokter gigi adalah tenaga medis yang berbeda pengertian dalam tugas, fungsi, hak, kewajiban, dan kewenangan, dengan tenaga kesehatan yang lain. Dokter dan dokter gigi, lanjut Nasser, dalam praktik kedokterannya menyandang tiga norma secara bersamaan, yakni norma etika, norma disiplin profesi,dan norma hukum yang berkonsekuensi pada diadilinya dokter oleh tiga mahkamah yang berbeda. “Menurut pendapat saya, inilah pembeda signifikan kelompok medical professional dan profesional biasa,” paparnya.
Sidang ini merupakan sidang terakhir sebelum pengucapan putusan. Untuk itulah, Arief Hidayat selaku Ketua Sidang meminta agar semua pihak menyerahkan kesimpulan pada Kamis, 29 Oktober 2015 pada pukul 10.00 WIB.
Seperti diketahui, para Pemohon, yaitu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dkk, merasa terlanggar dengan beberapa pasal dalam UU Tenaga Kesehatan. Di antaranya Pasal 1 angka 1 dan angka 6; Pasal 11 ayat (1) huruf a dan huruf m; Pasal 11 ayat (2) dan ayat (14); Pasal 12; Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), yang mengatur pengelompokan tenaga kesehatan. Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 35; Pasal 36; Pasal 37; Pasal 38; Pasal 39; Pasal 40; Pasal 41; Pasal 42; Pasal 43; Pasal 90; serta Pasal 94, yang mengatur Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI).
Para Pemohon menyatakan terdapat kesalahan konsepsional dan paradigmatik mengenai tenaga medis dalam UU Tenaga Kesehatan. Menurut para Pemohon, UU Tenaga Kesehatan seharusnya membedakan antara tenaga profesi di bidang kesehatan (dokter dan dokter gigi) dengan tenaga vokasi (misalnya teknisi gigi). Selain itu, Pemohon juga menggugat ketentuan yang mengatur mengenai pembentukan KTKI. Menurut Pemohon, peleburan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi ke dalam KTKI telah menurunkan derajat para dokter. Berdasarkan UU Tenaga Kesehatan, KTKI tidak memiliki fungsi pengawasan, penegakan disiplin dan penindakan tenaga kesehatan. Para Pemohon menilai, KTKI sebagai pengganti KKI telah kehilangan independensinya, sebab saat ini KTKI tidak lagi bertanggung jawab langsung kepada Presiden melainkan melalui Menteri Kesehatan. (Lulu Anjarsari/IR)